H. Jazuli Juwaini, Lc. MA

.

Rabu, 28 Oktober 2009

"Kami Dukung Upaya Pemberantasan Korupsi"

Harian Rakyat Merdeka
Selasa, 26 Oktober 2009
Rubrik Investigasi, Halaman 4

ANGGOTA Komisi VIII DPR, Jazuli Juwaini mendukung sepenuhnya upaya pengusutan yang dilakukan aparat penegak hukum jika ada indikasi tindak pidana di Depag.
"Kami akan mendukung upaya pemberantasan komisi. Apalagi Presiden komitmen mengedepankan pemerintahan yang bersih," kata Jazuli Juwaini kepada Rakyat Merdeka.
Sementara terkait kinerja Komisi VIII yang akan dilakukan, Jazuli berupaya akan memperbaiki sistem dari pelayanan ibadah haji di Depag, Selama ini pelayanan terhadap masyarakat selalu minus. Harus ada pembenahan kualitas dan kriminalitas di lembaga itu."


Ini bentuk pengawasan dari DPR terhadap kinerja Depag," ujarnya.
Untuk itu, Jazuli berharap ada transparasi dalam pembuatan anggaran di DPR dan Depag. Terlebih lagi dalam pelaksanaan haji, jangan dijadikan proyek kalangan tertentu. "LID
Selengkapnya...

Kamis, 22 Oktober 2009

Gagal Panen, Ratusan Petani Makan Nasi Aking

Harian Sinar Harapan
Senin, 02 Februari 2009

Tangerang-Akibat gagal panen, sejak satu bulan terakhir ratusan petani di Kampung Sukadiri RT 10/04, Desa Patramanggala, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, terpaksa mengonsumsi nasi aking.
“Mayoritas mata pencarian warga disini adalah petani. Jadi ketika sawah gagal panen, kami tak mampu berbuat banyak Untuk dapat bertahan hidup, kami terpaksa mengonsumsi makanan seadanya,” kata Sopiah (60), salah seorang warga Kampung Sukadiri kepada SH di Tangerang, Jumat (30/1).


Keluhan senada juga dilontarkan Abdillah (50), petani lainnya. Nasi aking kini menjadi makanan favorit keluarganya, setelah satu hektare sawah miliknya gagal panen. Selain upaya untuk mengirit biaya, mengonsumsi nasi aking terpaksa dilakukan karena faktor kemiskinan.
“Meski warga yang mengonsumsi nasi aking di desa ini bukan cuma keluarga saya, sejujurnya saya sangat merasa malu kepada anak dan istri di rumah. Karena ketidakmampuan saya, mereka terpaksa hidup menderita,” kata Abdillah.
Anggota Komisi II DPR RI Jazuli Juwaini yang sudah melihat langsung kondisi warga Kampung Sukadiri mengaku sangat prihatin. Jazuli meminta kondisi kesengsaraan warga itu sedianya menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak, khususnya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang untuk memberikan perhatian dan pembenahan di sektor ekonomi.
“Saya sedih melihat kondisi warga tersebut. Di tengah era modernisasi seperti sekarang, ternyata masih ada warga yang mengonsumsi nasi aking. Sedianya ini adalah kesalahan kita semua. Untuk itu, saya berharap kita bisa saling bahu-membahu memperbaiki kondisi ini,” katanya. n

Selengkapnya...

Rabu, 21 Oktober 2009

Rp 213 Triliun dari APBN 2010 untuk Sektor Pendidikan

www.kompas.com
Rubrik Nasional
Kamis, 8 Oktober 2009

TANGERANG, KOMPAS.com - Anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini menyatakan, tahun depan pemerintah mengucurkan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebanyak Rp 213 triliun untuk sektor pendidikan.

"APBN tahun 2010 sekitar Rp 1.100 triliun, dan 20 persennya atau sekitar Rp 213 triliun disalurkan bagi sektor pendidikan," ujar Jazuli di Tangerang, Kamis (8/10).

Menurut Jazuli, dana Rp 213 triliun dari APBN tahun 2010 digunakan untuk membenahi mutu pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama di seluruh Indonesia. "Sebanyak 100 persen dana itu khusus digunakan untuk peningkatan pendidikan dan 60 persen untuk mutu dan sarana prasarana," kata Jazuli.


Anggaran pendidikan juga ditambah dengan dana alokasi khusus (DAK) kepada seluruh sekolah di Indonesia dari pemerintah tahun depan.

Adapun, kata Jazuli, dana pendidikan selain di salurkan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah diminta menyalurkan dana bantuan untuk pendidikan di wilayahnya masing-masing.

"Bantuan dana dari APBD pemerintah daerah harus juga dikucurkan guna peningkatan pendidikan, tidak mungkin hanya mengandalkan dana dari pemerintah pusat saja," jelasnya.

Dana Rp 213 triliun diberikan bagi seluruh sekolah baik di provinsi, kota, kabupaten, daerah pemekaran baru, serta sekolah di wilayah pelosok yang sulit dijangkau.

Menurut anggota DPR-RI yang baru dilantik itu, dana sebesar itu belum dipastikan berapa anggaran yang disalurkan untuk satu daerah, termasuk bagi delapan wilayah kota/kabupaten di Propinsi Banten.

Selain itu dikatakan Jazuli, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sampai kini belum memiliki data valid berapa jumlah kerusakan seluruh sekolah di Indonesia.

"Depdiknas tidak punya rekap yang pasti jumlah sekolah di Indonesia yang rusak, padahal data tersebut diperlukan untuk menyalurkan bantuan," ungkap Jazuli.

Selengkapnya...

Selasa, 20 Oktober 2009

Sudah Hidayat Tapi Belum Dapat Hidayah : HidayatTidak Kebagian Karcis

Harian Rakyat Merdeka
Senin, 19 Oktober 2009

SAMPAI kemarin, tiga kader PKS (Tifatul Sembiring, Salim Segaf Al Jufri dan Suharna Supranata) sudah dipanggil SBY ke Cikeas untuk jalani tes calon menteri. Kenapa Hidayat Nur Wahid yang bekas Presiden PKS juga bekas ketua MPR tak juga dipanggil? Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Achmad Mubarok mengaku tidak tahu alasannya, "Kita juga heran, kenapa Pak Hidayat tidak katut, mungkin tidak kebagian karcis," kata Mubarok kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.


Mubarok menyatakan, yang tahu alasannya hanya SBY. "Yang tahu soal ini ya Pak SBY, saya nggak tahu karena nggak pernah diajak bicara soal ini," jelas Mubarok.
Guru besar psikologi ini juga punya jawaban candaan terkait tidak dipanggilnya Hidayat. "Dalam bahasa seloroh saya katakan, dia sudah hidayat tapi belum dapat hidayah," kata Mubarok sambil tertawa.

Menanggapi candaan Mubarok, anggota Fraksi PKS, Jazuli Juwaini mengatakan, PKS tidak kecewa Hidayat tidak dipanggil ke Cikeas. Karena masalah menteri merupakan hak prerogatif presiden.
"Para kader PKS sudah dididik, untuk tidak merengek-rengek jabatan dan yakin betul bahwa ruang pengabdian itu masih banyak selain di kabinet," tegas Jazuli.

Bukankah Hidayat tidak kalah hebat dengan tokoh-tokoh PKS yang akan masuk kabinet SBY? Jazuli menjelaskan, masing-masing punya kelebihan dalam bidangnya, tetapi dirinya tidak dalam posisi untuk membenturkan mereka.

Yang dia tahu, Hidayat itu orangnya tulus dan dalam posisinya sebagai anggota DPR, dia akan memaksimalkan fungsi dan peranannya sebagai wakil rakyat. "Pak Hidayat akan jadi Ketua BKSAP (Badan Kerjasama Antar Parlemen), Pak SBY akan menempatkan aset terbaik dalam kabinetnya," kata Jazuli.HPS

Selengkapnya...

Rabu, 14 Oktober 2009

Pelantikan DPRD Mestinya Dipercepat

Harian Satelit News
Selasa, 13 Oktober 2009




KOTA TANGSEL, SN-Rencana Pelantikan anggota DPRD Kota Tangsel Januari 2010 mendatang sebaiknya dipercepat. Hal ini bertujuan agar jalannya roda pemerintahan Kota Tangsel sempurna dengan produk-produk hukum yang kuat.
"Urgensinya, agar pembangunan pemerintahan Kota Tangsel lebih sempurna. Jadi, apa alasannya mesti menunggu Januari," kata anggota DPR RI Dapil Kota Tangsel, H. Jazuli Juwaini kepada Satelit News, semalam.

Untuk itu, Jazuli menyarankan agar sebaiknya KPUD Kabupaten Tangerang secepatnya membicarakan soal pembentukan sekretariat KPUD Kota Tangsel kepada Penjabat Walikota Tangsel, sehingga seluruh anggota DPRD terpilih bisa secepatnya dilantik dan menjawab aspirasi masyarakat kota otonom baru itu. "Jadi, KPUD induk mesti proaktif," saran anggota dewan yang juga pernah mencalonkan diri dalam Pilkada Kabupaten Tangerang ini.


Hasil pertemuan antara KPUD dan Penjabat Walikola itu akan menunjuk seorang care taker yang akan bertugas melantik serta menyiapkan penyelenggaraan Pilkada Kota Tangsel. Setelah anggota DPRD Kota Tangsel dilantik, maka semua produk hukum hasil legislasi bisa digunakan untuk mengawal pembangunan di Kota Tangsel.

Ditanyakan soal adanya rencana percepatan penyelenggaraan Pilkada, Jazuli menyarankan agar sebaiknya dilaksanakan sesuai jadwal yang tertuang dalam UU 51 Kota Tangsel. Dia juga menyinggung soal perumusan hari ulang tahun Kota Tangsel yang beberapa waktu lalu dibahas seluruh tokoh perumus Cipasera dahulu.

Menurutnya, penting ditetap-kannya hari ulang tahun tersebut sebagai apresiasi dan penghormatan bagi semua pihak yang berjasa dalam pembentukan Kota Tangsel. "Menurut hemat saya tak berlebihan jika HUT Kota Tangsel perlu dicarikan tanggal yang tepat sebagai bentuk apresiasi," katanya.

Nah, untuk penetapannya diperlukan payung hukum hasil legislasi DPRD Kota Tangsel. Nah, di situlah pentingnya pelantikan secepatnya anggota DPRD terpilih Kota Tangsel tersebut. Dasar penetapan tanggal Ultah itu ada beberapa opsi diantaranya, sesuai dengan hari penandatanganan UU 51 Kota Tangsel, ada juga yang mengusulkan sesuai dengan tanggal ketok palu UU 51 tersebut oleh DPR RI, ada pula yang menginginkar tanggal ultah saat penetapan PJS dan lain sebagainya. "Banyak opsi, dari itu semua sebagai bentuk apresiasi Dan penetapannya pun menunggu DPRD terbentuk," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya,Pemkot Tangsel menggelar pertemun dengan tokoh masyarakat Tangsel di Damai Indah Golf, BSD, Serpong, guna dimintai pendapat tentang kapan waktu yang paling tepat yang dapat dijadikan sebagai hari jadinya Kota Tangsel.
Dalam keempatan itu, hadir Penjabat Walikota HM Shaleh MT Presedium Pembentukan Kota Tangsel H Zarkasih Noor, Anggota DPR RI H Jazuli Juwaini dan tokoh-tokoh Tangsel lainnya. Setelah beberapa saat berdiskusi, terdapat tiga pilihan yang dapat dijadikan sebagai hari jadi Tangsel, yakni 29 Oktober, 26 November, dan 24 Januari. Susilo).

Selengkapnya...

Yang Pasti, Kursi Menteri PKS Lebih dari Tiga

Harian Media Indonesia
Selasa, 13 Oktober 2009

JAKARTA--MI: Ketua DPP PKS Mahfudz Shiddiq mengatakan, partainya yakin akan memperoleh jatah kabinet yang lebih banyak daripada periode lalu.

"Kalau periode lalu tiga kursi, sekarang jelas lebih dari itu," tukasnya di Jakarta, Senin (12/10). Partainya sudah memastikan pos, figur, dan jumlahnya, tetapi ia tidak mau mengungkapkannya.


"Tidak etis kalau diungkapkan sekarang. Nanti, kalau sudah selesai semua, akan kami buka," ujarnya. Namun, hasilnya akhirnya tergantung dari pembicaraan pimpinan partai dengan SBY.

Yang pasti, dua kader PKS yang digadang-gadang mengisi kursi di kabinet dipastikan tidak akan dicalonkan, yakni Sekjen Anis Matta dan Menteri Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault.

Hal itu diungkapkan oleh fungsionaris DPP PKS Jazuli Juwaini. Menurutnya, posisi Anis memang difokuskan untuk menjadikan PKS lebih berperan dalam periode 2009-2014. Bahkan, lanjut Jazuli, meskipun SBY meminta Pak Anis untuk masuk, PKS tidak akan rela melepas Anis ke kabinet. Selain Anis, kata Jazuli, Adyaksa juga kecil kemungkinan dicalonkan. (*/OL-04)
Selengkapnya...

Selasa, 13 Oktober 2009

Pelantikan Anggota MPR/DPR RI Periode 2009-2014






Selengkapnya...

Selasa, 01 September 2009

Kadernya 'Dicuri' Gerindra, PKS Cuek

Pemilu 2009

inilah.com
08/01/2009 - 19:45

INILAH.COM, Jakarta - Beberapa kader Partai Keadilan Sejahtera dikabarkan 'dicuri' Partai Gerindra dengan iming-iming fasilitas asuransi. Namun, fungsionaris PKS menganggap 'pencurian' itu sebagai hal sepele. "Ah, paling-paling itu hanya orang-orang yang mengaku kader PKS," ujar Jazuli Juwaini.


Ini memang studi yang gres. Pada tingkat akar rumput, hampir pasti terjadi perpindahan dukungan politik dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke Gerindra pada Pemili 2009. Situasi ini terjadi karena mereka kecewa terhadap sejumlah elite partai Islam itu yang tak melayani aspirasi konstituennya.

Jika benar, maka pertanyaan atas prediksi berbagai lembaga survei akhir-akhir ini, khususnya menyangkut PKS, mendapatkan jawaban. Lembaga survei seperti LSI Saiful Mujani, LSI Denny JA, Reform Institute (Yudi Latif), dan LSN Umar S Bakry, memperhitungkan suara PKS akan merosot pada Pemilu 2009.

Fakta itu disodorkan Wakil Direktur The Fundamentalism Institute, Helmi Adam, Rabu (7/1). Dia menyodorkannya dalam dialog terbatas dengan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dan Associate Director Media Institute dan PSIK Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad. Helmi menuturkan institutnya dipimpin politikus PKS sebagai direktur.

Helmi melakukan penelitian bahwa di banyak desa dan sel (murobi) PKS di kawasan Kabupaten Tangerang, misalnya, ribuan kadernya menyatakan akan memilih Gerindra. Dalam situasi ini, nilai-nilai 'samina wathona' menjadi tergeser.

"Adanya asuransi Gerindra juga memikat massa Islam di bawah lantaran membuktikan partai nasionalis ini komit kepada rakyat kecil. Jadi, jika Gerindra kini memiliki 7,5 juta anggota aktif, sebagian massa Islam kota yang tidak diurus PKS, sudah beralih ke Gerindra, partai kebangsaan. Ini merobek tradisi politik aliran yang kaku dan merupakan perkembangan baru," kata Helmi, mantan pengajar Universitas Negeri Jakarta .

Situasi ini menarik karena merontokkan politik aliran yang dalam studi guru besar Universitas Northern Illionis Dwight Y King dan Anis Baswedan (2005). Menurut mereka, tidak terjadi pelintas batas dari massa Islam ke partai nasionalis dalam pemilu 1999 dan 2004.

Jangankan menyeberang ke partai-partai majemuk, para pemilih partai Islam cenderung mengalihkan dukungannya ke partai berbasis massa Islam lainnya. "Pemilih ceruk lain juga setali tiga uang," kata Eep Saefulloh Fatah, dosen FISIP UI.

Studi King dan Baswedan menegaskan pada Pemilu 1999 dan 2004, pertarungan pokok pun terjadi di dalam ceruk, bukan lintas ceruk. Fakta ini tegas terlihat di Jakarta. Di daerah pemilihan paling prestisius yang dimenangi PKS pada Pemilu 2004 ini, tujuh partai berbasis massa Islam meraih 1.891.641 suara (46,89%); hanya berselisih kecil dengan suara yang diperoleh 16 partai berbasis massa majemuk (1.911.666 suara atau 47,39%). Sisanya, 5,72% atau 230.657 suara, diraih partai berbasis massa Kristen (PDS).

Ternyata, pemilih Jakarta bukanlah para pelintas batas ceruk. Dari Pemilu 1999 ke 2004, PBB, PPP, dan PAN masing-masing kehilangan berturut-turut 0,7%, 9,7%, dan 9,1% suara. Hilangnya 19,5% suara itu beralih ke tiga partai berbasis massa Islam lainnya, yakni PKB (bertambah 0,1%), PBR (3%), dan terutama PKS (bertambah 18,4%).

Situasi di ceruk pasar majemuk juga serupa. Suara PDIP dan Partai Golkar yang hilang (berturut-turut 25% dan 2,1%) ternyata lari ke sang pendatang baru, Partai Demokrat (20,2%) dan partai-partai majemuk lainnya.

Tapi penelitian Helmi menunjukkan, akan terjadi perubahan dalam pemilu 2009. Sejumlah massa Islam PKS di pinggiran Jabodetabek banyak yang lari ke Gerindra. "Elite PKS gagal mengakomodir aspirasi akar rumput mereka. Ada kekecewaan dan ketidakpercayaan," kata Helmi.

Mengenai swing voters Islam kota ini, Helmi mengingatkan Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring, Anis Matta, Zulkieflimansyah, Fahri Hamzah, dan Adhyaksa Dault bahwa gejala politik itu tidak main-main. "Harus disikapi serius oleh elite PKS dan jajarannya. Sangat besar kemungkinan suara PKS merosot," tegas mantan aktivis HMI itu.

Namun, fungsionaris DPP PKS, Jazuli Juwaini, membantah keras hasil survei The Fundamentalisme Institute tersebut. Menurut mantan calon bupati Tangerang tersebut, kader PKS tidak mungkin bergeser hanya karena persoalan asuransi yang diming-imingi oleh Gerindra. "Itu bukan data valid dan akurat," tegasnya.

Bahkan Jazuli berani menegaskan, jikapun ada yang berpindah ke partai lain, itu adalah oknum yang mengaku kader PKS. Bahkan, anggota Komisi II DPR tersebut menilai, hasil penelitian tersebut sengaja dibuat untuk membangun citra negatif tentang PKS. "Ini opini yang sengaja dibuat agar PKS ditinggalkan," cetusnya.

Jazuli mencontohkan, simpatisan saat dirinya mencalonkan bupati Tangerang hingga kini masih setia dengan PKS. "Jangakan kader, simpatisan saat pemilihan bupati dulu sampai saat ini masih setia," ujarnya. [I4]

Selengkapnya...

Kamis, 27 Agustus 2009

MAKIN MESRA





Selengkapnya...

Rabu, 26 Agustus 2009

DPR RI Respon Kasus Lahan Lagoi

http://kepritoday.com
Sabtu, 5 Juli 2008 | 10:10:51

TANJUNGPINANG - Meski persoalan kasus ganti rugi tanah di Lagoi terjadi pada awal 1990-an, tapi persoalan sengketa tanah yang kini menjadi kawasan industri pariwisata bertaraf internasional itu masih meninggalkan persoalan.
Karena berlarut-larutnya persoalan tersebut, sengketa itu masuk ke DPR RI. Kemarin untuk mencari masukan dan mengumpulkan berbagai informasi sehubungan dengan menyelesaikan kasus sengketa lahan di Lagoi tersebut, Tim Pertanahan Lagoi dari Komisi II DPR RI bersama Pemprov Kepri dan Pemkab Bintan serta perwakilan masyarakat 10 Desa di Lagoi berdialog di aula Kantor Gubernur Kepri, kemarin.

Dialog dipimpin Ketua Tim Pertanahan Lagoi-Bintan dari Komisi II DPR RI, H Jazuli Juwaini Lc, dihadiri Wakil Gubernur Kepri, H Muhammad Sani, Bupati Bintan, H Ansar Ahmad, Asisten I Setdaprov Kepri Bidang Pemerintahan dan Tatapraja, H Tengku Muchtaruddin, Ferry Mursyidan Baldan, Danrem 033/WP Kepri, Kolonel ARH Mardimin, BPN Kepri dan instansi terkait lain.


Ketua Tim Pertanahan Lagoi-Bintan dari Komisi II DPR RI H Jazuli Juwaini Lc sebelum pertemuan memaparkan bahwa Pemda dan BPN Kepri agar cepat diselesaikan.

”Pertama klasifikasikan tanahnya dan kedua klasifikasikan jenis sertifikatnya. Hal ini perlu dilakukan BPN. Berikutnya perlu dilakukan pertemuan lebih lanjut. Mungkin kita undang gubernur dan bupati. Dalam menyelesikan sengketa ini kita bersikap objektif,” kata Jazuli, anggota Komisi II DPR-RI bidang Pemerintahan dalam negeri dan Otda, aparatur negara, agraria dan komisi pemilihan umum (KPU) itu.
Kedatangan Komisi II ke Kepri, jelas Jazuli dilakukan dalam upaya menyelesaikan sengketa lahan sengketa Lagoi. Ia membantah kedatangan Komisi II ke Bintan dan Kepri sehubungan dengan kasus alih fungsi hutan.

”Kita datang untuk merespon bapak-bapak (masyarakat 10 desa) yang merasa teraniaya sehubungan dengan kasus sengketa lahan di Lagoi. Bukan mengenai alih fungsi hutan. Kalau mengenai alih fungsi hutan yang menangani itu Komisi IV DPR-RI,” jelas Jazuli.

Warga 10 Desa Mengadu ke DPR-RI
Sementara itu, utusan masyarakat 10 desa Lagoi melalui Ketua Umum Yayasan Tragedi Lagoi, Ignatius Toka Soli dalam pertemuan kemarin mengatakan, hingga kini, masih banyak masyarakat 10 desa di Lagoi tak pernah menerima pembebasan lahan milik mereka yang dijadikan lahan buat kawasan wisata Lagoi dan kawasan industri Lobam, milik Salim Group.
”Warga sangat dirugikan. Berbagai upaya telah dilakukan. Kita mohon, anggota Komisi II DPR-RI bisa mencarikan solusi terbaik,’’ujar Ignatius, kemarin.

Pada dasarnya, warga setuju lahan mereka dibebaskan. Namun, warga menilai ganti rugi yang diberikan pihak Salim Group kala itu tak sesuai realisasi di lapangan. Ia mengaku pernah bertemu dengan calon investor dan menanyakan harga pembebasan lahan mereka.
”Pihak Salim Group menaksir pembebasan lahan warga sekitar Rp150 permeter, sedang pada calon investor, Salim Group menjual sekitar Rp2 dolar Singapura per meter,’’ jelasnya.

Aktifitas pembebasan lahan di lapangan, melibatkan tim 9 yang dibentuk pemerintah. Tim inilah katanya secara aktif turun ke tengah lapisan warga. Belakangan, di lapangan terjadi hal tak diinginkan, yakni ada tanah yang disudah diukur dan sudah dibayar dan belum dibayar sampai sekarang serta ada juga tanah belum diukur tapi bagunan sudah berdiri. ”Termasuk dilahan yang ditempati Kawasan Industri BIIE sekarang, lokasi Pujasera Lagoi dan DAM air bersih di Lagoi. Jumlahnya sekitar 17 ribu hektare,’’ bebernya.

Ketua Tim Pertanahan Lagoi-Bintan Komisi II DPR-RI, Jazuli Juwaini minta Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau segera menyelesaikan permasalahan. DPR-RI mengakui, keberadaan investor sangat penting. Untuk menarik satu-dua investor saja katanya sangat sulit. Karena itu, investor yang sudah ada, harus dipertahankan. Caranya, antara lain menghormati hak dan kewajiban mereka.

”Sebaliknya, pemerintah daerah harus paham juga. Hak masyarakat yang seharusnya di bela, pemerintah daerah harus memperjuangkan. Jangan dibiarkan rakyat berjuang sendiri,’’ujar Jazuli Juwaini. (zek/amr)


Selengkapnya...

Senin, 24 Agustus 2009

PPP Mempersilakan, PKS Mengingatkan

Koran Tempo, Jum’at, 21 Agustus 2009
Rubrik Berita Utama, Hal : 2


JAKARTA - Reaksi berbeda di-sampaikan partai-partai pendukung Susilo Bambang Yudhoyono alasan kemungkinan masuknya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ke dalam koalisi. Ada partai yang mempersilakan, ada pula yang menganggap langkah Partai Demokrat mendekati kubu Megawati Soekarno-putri itu tindakan tak etis.
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Chozin Churaaedy mengatakan partainya mempersilahkan jika Partai Demokrat ingin menggandeng PDI Perjuangan. "Tidak masalah," katanya di gedung DPR kemarin.
Namun, kata Chozin, meski nantinya PDI Perjuangan bergabung dalam koalisi, ia raengingatkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap memperhatikan partai-partai peserta koalisi. "Yang penting, koalisi yang ada tetap di kabinet," kata Chozin.


la menilai, jika benar terjadi, masuknya PDI Perjuangan ke kabinet bukan berarti mekanisme checks and balances dalam demokrasi tak berlaku. "Bukan berarti tidak kritis."
Sikap berbeda disampaikan Partai Keadilan Sejahtera.
Mereka mengingatkan agar Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat tidak "main mata" dengan PDI Perjuangan. Menarik PDI Perjuangan ke dalam koalisi dinilai sebagai langkah tak etis.
"Secara aturan main, itu sah," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera Jazuli Juwaini. "Tapi beliau harus menghargai mitra koalisi yang telah berjuang."
Jazuli mengatakan, pemerintahan memang perlu dibangun secara bersama-sama, namun kebersamaan tak boleh meninggalkan etika. "Kebersamaan atas dasar etika," kata Jazuli.
PDI Perjuangan, Jazuli melanjutkan, akan lebih baik jika tetap menjalankan perannya sebagai oposisi. Dengan begitu, prinsip checks and balances bisa tetap dilakukan secara efektif. "Oposisi lebih manis untuk PDI Perjuangan dan konstituennya," katanya
la rnembantah anggap bahwa partainya takut kehilangan jatah kursi di kabinet jika PDI Perjuangan masuk koalisi. "Sejak awal, jika mendukung SBY karena tahu yang terbaik, bukan karena kursi," kata Jazuli. • DWIRIYANTOAGUS


Selengkapnya...

Jumat, 21 Agustus 2009

Pilkada Sulit Digabung

Harian Suara Pembaruan
Kamis, 20 Agustus 2009
Halaman Utama


[JAKARTA] Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berbeda pendapat soal usul Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar hari pemilihan umum kepala daerah (pilkada) digabung, sehingga pemilihan umum (pemilu) cukup dilaksanakan tiga kali saja dalam lima tahun, yaitu pemilu presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg), dan pilkada.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) Maruarar Sirait mengatakan, tidak mudah untuk menggabungkan hari pilkada. Sebab, penggabungan itu akan terbentur pada masa kerja para kepala daerah yang berbeda.


Ada gubernur, bupati, dan wali kota yang masa kerjanya berakhir pada 2010. Ada pula yang 2011 dan 2013, sehingga pilkada tentu baru dilakukan berdasarkan berakhirnya masa tugas mereka. "Untuk menyatukan periode tersebut jelas tak mudah dan memiliki banyak konsekuensi hukum, politik, dan sosial," kata Maruarar kepada SP di Jakarta, Rabu (19/8).

Usul menggabungkan pilkada itu disampaikan Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita saat pidato pada Rapat Paripurna Khusus DPD dalam rangka pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Daerah, kemarin. Menurut Ginandjar, pemilu yang terlalu sering digelar cukup menelan biaya, energi masyarakat, dan menimbulkan kejenuhan.

Menanggapi itu, Maruarar berpendapat, jika ada keinginan menggabungkan pilkada, selain harus dikaji secara mendalam, juga perlu mendengar aspirasi rakyat di daerah. Dengan demikian, aspek-aspek sosial dan politik dapat diakomodasi dengan baik.

Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FKB) Ida Fauziah mengatakan, perlu ada pengkajian secara mendalam tentang konsep tersebut. Dalam pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32/2003 tentang Pemerintahan Daerah yang sedang berlangsung di DPR, ujarnya, semangat menggabungkan hari pilkada sudah ada.

"Semangat itu didasarkan pada keinginan agar pilkada bisa serentak di Indonesia, terjadi efisiensi anggaran, dan mengatasi kejenuhan politik. Pilkada yang terlalu sering telah membuat rakyat jenuh dan itu berdampak pada kualitas," katanya.


Usul Golkar

Ferry Mursyidan Baldan dari Fraksi Partai Golkar (FPG) mengatakan, usul agar pemilu dilaksanakan tiga kali saja dalam lima tahun merupakan usul partainya sejak lama. Karena itu, FPG mendukung sepenuhnya konsep ini. "Hanya saja, yang perlu diatur adalah soal bagaimana mensinkronisasikan masa kerja para kepala daerah yang sudah berjalan sehingga tak ada yang dirugikan," ujarnya.

Menurut Ferry, konsep ini secara keseluruhan kemungkinan baru bisa diterapkan setelah 2014. Namun, persiapan itu sudah harus dimulai sejak sekarang. Misalnya, untuk masa transisi bisa diawali dengan pilkada dua kali saja dalam lima tahun.

Para kepala daerah yang masa periodenya sama atau berdekatan bisa diatur, sehingga waktu pelaksanaan pilkada bisa serentak. "Ini semua yang masih harus disinkronisasikan dan perlu ada revisi UU Pilkada dan UU terkait lainnya," katanya.

Chosin Gumaidi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) mengatakan, fraksinya mendukung sepenuhnya konsep pemilu tiga kali dalam lima tahun. Hal itu demi efisiensi anggaran, mengurangi konflik sosial, dan mengatasi kejenuhan dalam masyarakat. Selain itu, program pemerintah pusat dan daerah bisa berjalan secara simultan.

PPP, kata Chosin, malah ingin mengusulkan agar dilaksanakan dua kali pemilu saja dalam lima tahun, yaitu pilpres bersamaan dengan pilkada dan pemilu legislatif. "Pemilu yang berulang-ulang akan menelan anggaran yang sangat besar dan kita menjadi sulit membangun aspek-aspek lain yang lebih penting, seperti mengatasi kemiskinan dan pengangguran," ujarnya.

Jazuli Juaeni dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) mengatakan, aspek sosial dan politik harus dipikirkan secara matang. Sehingga, jangan sampai penggabungan hari pelaksanaan pilkada bisa menimbulkan masalah sosial baru di masyarakat. [J-11]




Selengkapnya...

Kamis, 20 Agustus 2009

Reformasi Birokrasi Selesai 2011

Harian Kompas
Kamis, 20 Agustus 2009
Rubrik Pemerintahan

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, program reformasi birokrasi telah dan sedang dilaksanakan secara bertahap. Program itu dapat diselesaikan untuk keseluruhan kementerian dan lembaga pada tahun 2011.

Secara bersama dan bertahap, reformasi di tingkat pemerintahan daerah juga harus mulai dilakukan dengan terencana, terorganisasi, dan berkesinambungan.

Hal itu disampaikan Presiden Yudhoyono dalam pidato kenegaraan mengenai pembangunan nasional dalam perspektif daerah di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah pada Rabu (19/8).


Menurut Yudhoyono, pembenahan birokrasi merupakan proses yang berkesinambungan dan menyeluruh karena menyangkut perubahan sikap dan tingkah laku seluruh jajaran aparat pemerintah, dari tingkat paling tinggi hingga tingkat pelaksana.

Perubahan tidak hanya menyangkut struktur organisasi, tetapi juga menyangkut cara kerja, disiplin, dan komitmen pada kinerja, serta terbangunnya sistem insentif dan hukuman yang adil dan setara.

Yudhoyono menyebutkan, sesungguhnya pemberian peran, kewenangan, dan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah adalah untuk melayani rakyat lebih baik, mudah, cepat, dan murah. Prinsip pemerintahan adalah ”segalanya untuk rakyat”.

Agar pelayanan prima kepada masyarakat dapat diwujudkan, diperlukan program reformasi birokrasi guna menghadirkan tata kelola pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih.

Pembangunan bagi semua

Presiden juga menegaskan bahwa negara harus memastikan tidak ada kelompok-kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan.

”Berbicara pembangunan, sering muncul pertanyaan, untuk siapakah pembangunan yang kita lakukan? Apakah pembangunan untuk manusia atau manusia untuk pembangunan? Apakah pembangunan hanya untuk sekelompok tertentu saja? Untuk menjawab pertanyaan itu, pidato hari ini saya beri tema ’Pembangunan untuk Semua’,” ujarnya.

”Pembangunan untuk Semua” hanya dapat dilakukan dengan menerapkan enam strategi dasar pembangunan. Keenam strategi itu antara lain pertama, strategi pembangunan inklusif yang menjamin pemerataan keadilan serta mampu menghormati dan menjaga keberagaman rakyat Indonesia.

Strategi berikutnya adalah pembangunan untuk semua harus berdimensi kewilayahan yang berarti pemerintah terus mendorong setiap daerah untuk mengembangkan keunggulan komparatif dan kompetitif.

”Strategi ketiga adalah menciptakan integrasi ekonomi nasional di era globalisasi. Adapun strategi keempat, yang juga kunci dari keberhasilan pembangunan untuk semua, yaitu pengembangan ekonomi lokal di setiap daerah guna membangun ekonomi domestik yang kuat secara nasional,” kata Presiden.

Strategi kelima, keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan.

”Strategi ini merupakan koreksi atas kebijakan pembangunan terdahulu, yang dikenal dengan trickle down effect. Strategi itu mengasumsikan perlunya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan pemerataan. Dalam kenyataannya di banyak negara, termasuk di Indonesia, teori ini gagal menciptakan kemakmuran untuk semua,” tutur Presiden.

Prasyarat kunci

Yudhoyono mengatakan, keberhasilan paradigma pembangunan untuk semua itu memerlukan sejumlah prasyarat. Selain perbaikan kemakmuran dan kualitas hidup rakyat secara merata, juga sangat ditentukan oleh tersedianya dan dibangunnya berbagai infrastruktur mendasar.

Lima kunci kesuksesan yang disodorkan adalah strategi dan program yang inklusif merata dan berkeadilan.

Selain itu, kebersamaan dan sinergi positif di antara semua komponen bangsa. Kunci sukses ketiga adalah pembangunan yang mendapat dukungan luas dari masyarakat.

Prasyarat lain adalah integritas dan etika profesionalisme para pemimpin dan pelaku pembangunan. Kunci sukses terakhir adalah lingkungan dalam negeri yang kondusif

Tagih janji

Menanggapi pidato Yudhoyono, pakar kebijakan publik Universitas Indonesia, Andrinof A Chaniago, menyebutkan, janji reformasi birokrasi termasuk yang paling sering dikemukakan. Janji itu akan diingat dan akan ditagih banyak orang kalau kembali gagal diwujudkan.

Tanpa kejelasan agenda aksi yang logis dan empiris, janji reformasi akan tetap menjadi ”pepesan kosong”.

Selama janji reformasi birokrasi tidak pernah tegas menyebut agenda aksi untuk mengubah sistem perekrutan calon pegawai negeri sipil, sistem promosi dan mutasi pegawai, dan rasionalisasi organisasi birokrasi, selama itu pula janji reformasi sulit terwujud.

Secara terpisah, anggota Komisi II DPR, Jazuli Juwaini, pun berpendapat, janji reformasi birokrasi dari Presiden bisa membuat tersenyum dengan perasaan berbunga. Ironisnya, kata Jazuli, belum terlihat konsep pemerintah yang riil yang secara gradual dan pasti terkait reformasi birokrasi itu.

Semestinya, kata Jazuli, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara membuat konsep reformasi birokrasi secara komprehensif dan dikoordinasikan dengan departemen lain.

Yang terlihat selama ini barulah soal perbaikan gaji dan tunjangan di Departemen Keuangan dan beberapa lembaga negara lain. ”Kalau reformasi birokrasi hanya diidentikkan dengan remunerasi, akan timbul kecemburuan antardepartemen,” sebut Jazuli. (DIK/HAR)

Selengkapnya...

Rabu, 19 Agustus 2009

KPU Usulkan Gubernur Dipilih DPRD

Harian Seputar Indonesia, Sabtu, 15 Agustus 2009

JAKARTA (SI) - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary mengusulkan, pe-milihan gubernur dan wakil gubernur secara langsung oleb rakyat hendaknya ditiadakan. Hafiz berpendapat hendaknya pemilihan gubernur dan wakil gubernur kem-bali pada aturan semula, yakni dilakukan oleb Angguta DPRD Provinsi yang di dalamnya juga berasal dari partai-partai politik. "Itu (gubernur dan wakil gubernur tidak dipilih langsung oleh rakyat) pendapat saya, jadi saya berpendapat mungkin untuk gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan sebagai kepala daerah, cukup dipilih oleh DPRD saja. Salah satunya untuk mengurangi biaya," jelas Hafiz di Gedung KPU kemarin.


Dia mengatakan, usulan tersebut tidak lepas karena gubernur hanya bersifat administratif. Dia mengungkapkan, dengan tidak dipilih secaralangsung olehrakyat, gubernur dapat lebih berkonsentrasi pada tugasnya. Kemudian, DPRD provinsi adalah pilihan rak¬yat. Sehingga, bisa DPRD provinsi dapat memilih gubernur. Dia mem-bedakan dengan bupati atau wait kota. Hafiz mengatakan, untuk bupati dan wali kota memang masih perlu dipilih langsung oleh rakyat. Sebab,kabupaten atau kota bersifat otonom. Hanya, usulan ter-sebut perlu didahului dengan adanya revisi UU 32/2004 tentang Pe-merintahan Daerah. Sebab, dalam UU Pemda tersebut masih diatur pemilihan gubernur dan wakil gubernur secara langsung.
Dalam waktu dekat, sambung Hafiz, direncanakan ada pertemu-an dengan Departemen Dalam Negeri untuk membahas revisi UU 32/2004 tersebut. Sebenarnya, sambung Hafiz, bukan hanya evaluasi UU 32/2004, dia juga mengusulkan agar ada perbaikan terhadap undang-undang pemilu. Selama ini, undang-undang pemilu itu mengalami perbaikan di tengah jalan dan ada interpretasi-interpretasi dalam pelaksanaannya.
Anggota Komisi II DPR Jazuli Juwaini mengomentari dua hal pada usulan yang dilemparkan Ketua KPU tersebut. Pertama, dia mengkritisi mengapa KPU mudah melempar wacana. Menurutnya, KPU tinggal menjalankan UU dan menjalankan tugasnya. "Calon legislatif DPR saja belum selesai kan, masa melempar wacana lagi," jelasnya.
Namun demikian, KPU memang berhak untuk mengeluarkan usulan. Dia mengatakan, terkait usulan tersebut, di komisi II memang masih membahas dua ke-mungkinan. Pertama, apakah gu¬bernur yang dipilih langsung dan bupati atau wali kota yang dipilih DPRD. Kemungkinan kedua adalah memilih bupati atau wali kota secara langsung dan gubernur dipilih DPRD. "Tinggal bagaimana nanti letak otonominya, di provinsi atau di kabupaten dan kota," jelasnya.(kholil)

Selengkapnya...

Jumat, 07 Agustus 2009

OPINI

1.Minta Tambahan Anggaran Melulu : KPU Seperti Anak Kecil
2.Selamat Datang Undang-Undang Pelayanan Publik
3.Menjadikan Pemilu Bermakna
4.Mempercepat Agenda Reformasi Birokrasi
5.Indikator Sukses Pembangunan Kota (Baru) Tangsel)
6.Suara Terbanyak dan Antisipasi Money Politics
7.Jaminan Kualitas Pelayanan Publik
8.Perlu Prioritas Anggaran
9.Etika Birokrasi




Selengkapnya...

Kamis, 30 Juli 2009

Minta Tambahan Anggaran Melulu : KPU Seperti Anak Kecil

Rakyat Merdeka
Ahad, 1 Maret 2009
Rubrik Bongkar


Sedikit-sedikit minta duit. Sedikit-sedikit minta tambahan anggaran. Karena sikap ini, KPU dianggap seperti anak kecil.
ANGGOTA Komisi II DPR, Jazuli Juwaeni menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) seperti anak kecil. Bukan apa-apa, sedikit-sedikit, Komisi yang di-pimpin Abdul Hafidz Anshary ini meminta tambahan anggaran ke pemerintah. Padahal seharusnya, dari awal KPU sudah melakukan perhitungan biaya pemilu.

"Apakah anggarannya yang memang kurang, atau mereka mengelola anggarannya tidak beres. Dana Rp 23 miliar itu sa-ngat besar," ujarnya kepada Rak¬yat Merdeka, kemarin.
Politisi Panai Keadilan Sejah-tera (PKS) mcngatakan, seharus¬nya dari awal KPU fokus terhadap persiapan pemilihan presiden dan legislatif. Namun faktanya pada draf anggaran 2009, KPU justru lebih mementingkan pem-bangunan rumah dinas. "Sekarang ini KPU lebih mementingkan sosialisasi keluar negeri," tukasnya.



Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai, permintaan KPU menggunakan anggaran Departemen yang belum terpakai untuk sosialisasi, sangat aneh.
"Memangnya negara ini negara arisan, bisa dengan mudahnya dapat menggunakan anggaran Departemen untuk menutup se-tiap kekurangan anggaran KPU." ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurut mantan ketua KIPP ini, secara taktis rencana KPU menggunakan anggaran Depar-temen tidak dapat dilakukan. Pasalnya, setiap Depanemen mempunyai tanggung jawab terhadap pengelolaan anggarannya sen-diri, dan sudah disesuaikan dengan kebutuhannya. "Kelakuan KPU sekarang semakin aneh. Ini hanya memperlihatkan ambisi mercka untuk memenuhi kebutuhan sendiri," tukas mantan aktivis 98 ini.
Ray mengatakan, sering terjadinya kekurangan anggaran di KPU dikarenakan politik ang¬garan dan negosiasinya sangat buruk. Selama ini, KPU selalu membuat anggaran dalam satu pakcm dan seragam di semua daerah. mulai dari distribusi sain-pai sosialisasi. Padahal, beberapa KPU daerah ada yang menilai

anggaran untuk distribusinya di daerahnya terlalu besar.
"Sebaiknya mulai sekarang KPU memperbaiki pos anggaran¬nya yang salah untuk membantu biaya sosialisasi. Dan sebaiknya KPU langsung meminta dana tambahan ke Depanemen keua-ngan (Depkeu), karena Depkeu yang mempunyai wewenang untuk menambah anggaran De-partemen," imbuhnya.
Langgar Disiplin Anggaran
Sementara itu. Ketua Masya-rakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman me¬nilai, permintaan KPU sangat ngawur. Dia bilang, permintaan KPU untuk menambah anggaran¬nya dari sisa Departemen, se-sungguhnya tclah melanggar disiplin anggaran dan mem-perlihatkan ketidakbecusan penyusunan anggaran.

"Seharusnya, KPU dapat memanfaatkan anggaran darurat, dan bukan meminta dari ang¬garan Departemen lain," katanya.
Boyamin menilai, sekarang ini kerja KPU hanya bisa mengeluh dan menyalahkan orang lain. Padahal, dana yang disetujui DPR untuk persiapan pemilu sudah sangafbesar.
"DPR sudah menyetujui anggaran pemilu yang diusulkan oleh KPU sebesar Rp 13 triliun dari Rp 14 triliun yang diusulkannya. Ini kan luar biasa, Departemen saja biasanya yang disetujuinya hanya 50 persen saja dari yang diusulkan," katanya.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Andrinof Chaniago meminta KPU meng-optimalkan anggaran sosialisasi yang sudah ada. Pasalnya, sosialisasi yang dilakukan KPU tentang pemilu di media massa minim sekali. Kata Andrinof, anggaran sosialisasi pemilu yang dimiliki KPU cukup untuk membiayai kegiatan sosialisasi jika penggunaannya optimal.

"Anggaran sosialisasi itu sudah ada di KPU. maksimalkan saja anggaran yang ada. Minimnya sosialisasi pemilu dari KPU dapat dimanfaatkan oleh peserta pemilu dalam membuat iklan liar. Bentuknya iklan layanan masya-rakat tentang pemilu, namun isinya menyerang parpoi lain," tandasnva. • DIT/ZK



Selengkapnya...

Selamat Datang Undang-Undang Pelayanan Publik

Senin, 2009 Juli 13

DPR RI segara mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelayanan Publik menjadi undang-undang (UU) pada rapat paripurna mendatang, setelah RUU tersebut mendapat pengesahan dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada Rabu (17/6).

Hal ini patut kita syukuri karena pertama, pembahasan RUU ini telah berlangsung lama, sejak tahun 2005, ketika pertama kali RUU masuk ke DPR RI sebagai prioritas legislasi nasional. Kedua, subtansi RUU ini sangat penting karena berhubungan langsung dengan hajat hidup rakyat terkait pelayanan publik dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar. Hadirnya negara dengan segala instrumennya pada prinsipnya adalah untuk melayani warganya. Oleh karena itu, hadirnya UU ini merupakan tonggak bagi perbaikan pelayanan publik di negeri ini, yang harus kita akui masih jauh dari harapan.



Raison d’ etre
Pada hakekatnya, pelayanan publik adalah berbagai aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara berkaitan dengan barang dan jasa publik yang harus disediakan negara. Sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, salah satu tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Meskipun selama 64 tahun bangsa ini telah mengupayakan terwujudnya cita-cita bangsa tersebut, namun bagi sebagian besar kalangan masyarakat cita-cita mulia ini masih jauh dari kenyataan. Rendahnya pelayanan publik di negeri ini telah menghadirkan krisis kepercayaan di tengah masyarakat, sampai-sampai mereka merasakan tidak ada negara dalam kehidupan mereka, kalaupun ada: negara sedang tidur.

Oleh karenanya alasan utama lahirnya UU Pelayanan Publik harus mampu menjawab realitas pelayanan publik yang jauh dari harapan di negeri ini. Realitas pelayanan publik kita antara lain tergambar dari proses yang lama dan berbelit, berbiaya mahal, pelayanan seadanya, sikap pelayan publik yang tidak professional, serta proses penyelesaian sengketa pelayanan yang lama dan cenderung merugikan penerima layanan.

Berbagai kasus yang mendapat perhatian publik berkat sorotan media secara luas sesungguhnya merupakan fenomena puncak gunung es yang menyembul ke permukaan. Seperti kasus Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni di Serpong Tangerang, lalu muncul kasus dugaan malpraktek medis di rumah sakit yang sama, serta berbagai kasus malpraktek birokrasi yang sering kita dengar dan rasakan sendiri, hal ini merepresentasikan tumpukan persoalan dengan kompleksitas yang tinggi dari minimnya peran birokrasi pemerintah, baik sebagai penyelenggara pelayanan publik secara langsung maupun sebagai regulator.

Realitas pelayanan publik tersebut kita jadikan refleksi serta contoh kasus dalam menyusun pasal demi pasal dalam RUU ini, selain tentu saja kita juga melihat best practice pelayanan publik di sejumlah tempat dan daerah berikut standar-standar pelayanan publik yang berlaku secara nasional maupun internasional. Hasil dari pembahasan tersebut insya Allah sudah tercermin di dalam naskah RUU yang sebentar lagi akan disahkan menjadi undang-undang ini.

Subtansi Penting
Terkait subtansi RUU secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, RUU memberikan defenisi dan ruang lingkup yang jelas terkait pelayanan publik. Pelayanan publik dalam RUU dijelaskan meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif. Hal ini meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan social, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.

Lalu siapa penyenggara pelayanan publik yang dicakup dalam RUU ini? Yang menarik, di dalamnya bukan saja mencakup penyedia jasa publik oleh instansi pemerintah, tapi juga oleh badan usaha maupun korporasi yang melaksanakan misi pelayanan publik. Defenisi dan cakupan ini menarik karena menjangkau pelaku pelayanan publik swasta sepanjang yang bersangkutan melaksanakan misi pelayanan publik.

Kedua, RUU memberikan pengaturan yang jelas terkait manajemen organisasi penyelenggara pelayanan publik. Di dalamnya memuat siapa yang bertanggung jawab dan mengkoordinir pelakasanaan pelayanan publik, berikut manajemen pengelolaannya sehingga pelayanan publik memenuhi unsur akuntabilitas publik.

Ketiga, RUU menegaskan hak, kewajiban, dan larangan bagi penyelenggara serta hak dan kewajiban bagi masyarakat. Pelanggaran atas hak, kewajiban, dan larangan tersebut mengandung konsekuensi sanksi yang dirumuskan dalam RUU ini yang dinilai secara cermat akan memberikan efek jera.

Keempat, RUU mengatur jelas dan tegas aspek penyelenggaraan pelayanan publik menyangkut standar pelayanan yang harus dipatuhi dan bagaimana standar pelayanan tersebut dilaksanakan secara konsekuen oleh penyelenggara pelayanan publik. Serta menyangkut pengelolaan pelayanan publik secara umum terkait manajemen informasi, manajemen sarana dan fasilitas, manajemen pelayanan, manajemen biaya dan tarif, manajemen pengaduan, hingga manajemen penilaian dan evaluasi pelayanan publik.

Kelima, RUU menegaskan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik. Partisipasi masyarakat tersebut dimulai sejak penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan. Masyarakat juga dapat membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik. Dalam konteks ini, masyarakat memiliki ruang deliberasi dalam menentukan pelayanan yang mereka inginkan.

Keenam, RUU menjamin hak-hak masyarakat dalam melakukan pengaduan terkait pelayanan publik. RUU memberikan banyak alternatif saluran pengaduan pelayanan publik yaitu langsung kepada penyelenggara dan/atau kepada ombudsman dan/atau kepada dewan perwakilan rakyat sesuai tingkatannya, maupun ke pengadilan jika berupa pelanggaran hukum. Mekanisme pengaduan ke masing-masing lembaga tersebut diatur secara jelas, berikut kewajiban masing-masing lembaga untuk memproses pengaduan dengan tahapan, proses, dan limit waktu yang jelas. Khusus menyangkut lembaga ombudsman, RUU ini memberikan penegasan kewajiban untuk membentuk ombudsman di setiap daerah. Hal ini untuk menjamin pengawasan pelayanan publik hingga ke daerah-daerah.

Dan ketujuh, RUU memberikan sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara. Jenis-jenis sanksi berupa teguran tertulis, penurunan gaji, penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian dari jababatan baik dengan hormat maupun tidak hormat sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan. Bagi instansi penyelenggara pelayanan publik bisa dikenakan sanksi pembekuan misi dan/atau izin hingga pencabutan izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah. Sebaliknya, bagi penerima layanan terdapat ketentuan mendapatkan ganti rugi jika terdapat kerugian sebagaimana diatur dalam RUU ini.

Komitmen Pemimpin dan Aparatur Negara
RUU tentang Pelayanan Publik hanyalah konsep di atas kertas jika pemimpin negara dan aparaturnya tidak memiliki kemauan kuat untuk mengubah kultur birokrasi yang ada. Paradigma birokrasi yang dikembangkan haruslah merupakan paradigma pelayanan. Aparatur negara harus secara tegas menyatakan dirinya sebagai pelayanan masyarakat (civil servant) dan menanggalkan segala kultur aparat atau pejabat yang selalu dan melulu minta dihormati dan dilayani. Kehormatan bagi aparatur adalah ketika mereka mampu memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat.

RUU Pelayanan Publik telah memberikan aturan yang jelas dan tegas yang diharapkan dapat menjadi panduan (guidance) sekaligus payung hukum bagi siapapun penyelenggara pelayanan publik dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan. Pada saat yang sama RUU juga menjamin hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik secara baik dan berkualitas. Wallahua’lam.

Selengkapnya...

Menjadikan Pemilu Bermakna


Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI 2004-2009/Caleg DPR RI Dapil Banten III


Pemilu 2009 kali ini sesungguhnya memiliki makna penting bagi bangsa Indonesia khususnya setelah bangsa ini melewati fase reformasi di tahun 1997. Dua kali pemilu setelah reformasi, yakni Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, dicatat dengan tinta emas oleh dunia internasional sebagai pemilu yang demokratis, meski ada kekurangan di sana-sini. Indonesia menjadi satu negara yang sukses melewati transisi demokrasi tanpa berdarah-darah sebagaimana umumnya dialami negara-negara dunia ketiga lainnya. Hal ini, di satu sisi, menunjukkan kedewasaan politik rakyat Indonesia untuk tidak memilih jalan kekerasan (chaos), namun di sisi lain hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pelembagaan politik kita.

Kesuksesan pemilu 1999 dan pemilu 2004 semestinya menjadi titik tolak bagi kita untuk menatap dan melaksanakan pemilu 2009. Masa transisi yang cukup gemilang kita lewati semestinya berlanjut pada fase konsolidasi demokrasi yang lebih solid dan mapan. Artinya, jika di pemilu 1999 dan pemilu 2004 kita masih berkutat pada soal-soal prosedural demokrasi yakni soal teknis pemilu yang luber jurdil, sudah semestinya di pemilu yang akan datang kita harus beranjak pada soal-soal demokrasi subtansial, yaitu bagamaina pemilu dapat menghasilkan kesejahteraan rakyat.

Pemilu untuk kesejahteraan bermakna: bukan hanya pemilu harus berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan, akan tetapi pemilu memang harus ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan. Harga ekonomi (economic cost) yang digelontorkan untuk penyelenggaraan pemilu harus dimaknai sebagai investasi untuk menghasilkan (return of investment) kepemimpinan dan pemerintahan yang efektif sehingga mampu mensejahterakan rakyat.

Dalam kerangka tujuan di atas maka seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) pemilu harus berperan aktif dengan memahami dan memaknai pemilu 2009 lebih dari sekadar pesta demokrasi lima tahunan.
Pertama, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Penyelenggara harus mencanangkan target pemilu bukan sekadar memenuhi ukuran-ukuran prosedural demokrasi, seperti pemilu tepat jadwal, logostik terdistribusi, pemilih terdaftar, pemilih tahu mekanisme memilih atau tahu gambar atau nama celeg, serta soal-soal teknis lainnya.
Persoalan-persoalan teknis tersebut perlu/penting tapi tidak cukup (necessary but not sufficient). Lebih dari itu, penyelenggara memiliki tugas penting untuk memastikan setiap pemilih memahami pilihannya dan secara sadar menggunakan hak pilihnya. Oleh karenanya, mengacu pada UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, KPU diwajibkan untuk mengumumkan nama-nama caleg dalam Daftar Calon Tetap (DCT). Sayangnya, DCT yang dipublikasikan KPU dan dapat diakses publik tidak memuat profil lengkap para calon sehingga tergambar rekam jejak atau track record-nya.

Kedua, partai politik dan caleg. Parpol dan caleg merupakan aktor penting, disamping pemilih, dalam setiap perhelatan pemilu. Sebagai peserta pemilu, parpol dan caleg memainkan peran meraih simpati pemilih agar memperoleh suara dan akhirnya menjadi caleg terpilih (aleg). Peran terpenting yang harus dilakukan parpol dan caleg adalah mengenalkan diri dengan faktor-faktor yang rasional objektif seperti rekam jejak, kontribusi, program riil, dan menjalin ikatan dengan pemilih berdasarkan faktor-faktor objektif dimaksud, bukan dengan paksaan atau imbalan materi (money politics).

Ketiga, pemilih. Pemilihlah aktor sesungguhnya dari pemilu mengingat pemilu berdasarkan konstitusi kita adalah manifestasi dari kadaulatan rakyat. Melalui pemilu rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan melalui figur-figur yang dipilih di balik bilik suara. Jika pemilih memilih calon yang berkualitas dengan komitmen dan kontribusi yang jelas, maka pemerintahan akan berjalan sesuai mandat rakyat tersebut. Sebaliknya, jika rakyat memilih orang yang salah, tidak memiliki rekam jejak atau bahkan memiliki rekam jejak negatif, yang hanya pandai merayu dengan janji-janji kosong, maka pemerintahan tidak akan berjalan amanah dan profesional.

Pemilih harus didorong untuk mengenal calon – sebelum akhirnya memilih – berdasarkan pertimbangan kualitas, kredibilitas, rekam jejak, dan program riil pada masyarakat. Antara pemilih dengan yang dipilih memiliki ikatan kontraktual yang secara kritis harus terus dijaga: pemilih selalu memantau pemenuhan program dan janji caleg serta mengingatkan jika terlewat atau terlupakan. Sementara yang dipilih (parpol atau caleg) harus selalu menjaga amanah rakyat yang telah dibebankan kepadanya lewat pemilu.

Tiga aktor pemilu di atas bisa ditambahkan dengan peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif memberikan edukasi pemilu agar lebih bermakna. Penulis mendukung sepenuhnya inisiatif sejumlah LSM yang melakukan kampanye publik untuk memilih wakil yang tepat dan tolak politisi bermasalah atau politisi busuk. LSM semestinya juga dapat memahamkan masyarakat soal kriteria wakil rakyat yang tepat untuk dipilih.

Akhirnya, jika semua pihak berpartisipasi konstruktif untuk melembagakan demokrasi yang semakin bermakna dan tidak dengan sengaja menodai nilai-nilai pemilu yang luber jurdil, maka transisi demokrasi kita hari ini akan semakin cepat menghasilkan konsolidasi demokrasi bagi kesejahteraan rakyat.

Selengkapnya...

Mempercepat Agenda Reformasi Birokrasi

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota Komisi Pemerintahan dan Aparatur DPR RI

Mesin utama pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan adalah birokrasi. Wujud utama pemerintahan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat atau warga negara adalah birokrasi. Demikian sentralnya posisi birokrasi sehingga membicarakan efektifitas pelaksanaan pemerintahan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat tidak bisa dilepaskan dari efektifitas kinerja birokrasi.

Lembaga-lembaga internasional dan para pakar pemerintahan merumuskan konsepsi tentang (birokrasi) pemerintahan dalam dua kategori: good governance dan bad governance. Ambil contoh UNDP menetapkan sembilan prinsip good governance, yaitu: partisipasi, ketaatan hukum (rule of law), transparansi, responsif, berorientasi konsensus, kesetaraan (equity), efektif dan efisien, akuntabilitas, dan visi strategis. Bank Dunia menyederhanakan prinsip good governance menjadi empat, yaitu: akuntabilitas, partisipasi, rule of law, dan transparansi. Birokrasi pemerintahan yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip tersebut dengan sendirinya masuk dalam kategori bad governance.


Dimana letak Indonesia dalam parameter good governance? Nyatanya, Indonesia belum masuk dalam kategori good governance. Good governance baru sebatas menjadi agenda pemerintah. Birokrasi di Indonesia sering dianggap masih membawa nilai-nilai patrimonial, rekrutmen pegawai belum berdasarkan merit system, tidak memberikan hukuman dan ganjaran berdasarkan prestasi, dan tidak efisien. Sudah bukan rahasia lagi jika Indonesia dikenal sebagai suatu negara dengan biaya ekonomi tinggi.
Penyebabnya ialah pelayanan buruk yang diberikan kepada masyarakat umum. Pelayanan buruk tersebut dikarenakan adanya peraturan yang berlebihan, minimnya transparansi, serta tingkah laku para birokrat yang tidak mendukung untuk menciptakan hukum dan peraturan yang dapat dipatuhi oleh sebagian besar anggota masyarakat (World Bank, 1992). Karena itu maka tak terlalu mengejutkan jika Indonesia dikategorikan sebagai suatu pemerintahan yang buruk (bad governance).

Capaian kinerja birokrasi tersebut harus mendorong semua pihak, khususnya pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memprioritaskan agenda reformasi birokrasi. Apa saja langkah-langkah percepatan yang bisa dilakukan untuk mewujudkannya?

Langkah Percepatan Reformasi Birokrasi

Pertama, budaya melayani, bukan dilayani. Warisan sejarah yang feodalistik baik semasa penjajahan Belanda muapun warisan rezim orde baru memang membentuk karakter birokrasi yang berorientasi ke atas atau melayani atasan. Budaya ini harus dikikis dengan budaya baru birokrasi pelayanan. Di negara-negara maju para pegawai pemerintahan disebut sebagai civil servant atau pelayanan masyarakat. Sementara di kita, masih kuat persepsi pegawai sebagai abdi negara yang cenderung menyimpang dalam praktek sebagai abdi penguasa. Istilah pejabat publik semestinya juga harus direvisi dengan pelayanan masyarakat sebagaimana dalam Islam, khalifah sering disebut sebagai qodimatul ummah.

Kedua, proses rekrutmen, pendidikan, promosi, evaluasi, dan remunerasi yang professional berdasarkan meritokrasi (merit system) atau keahlian. Birokrasi bukan perusahaan keluarga yang sistem kerja, pengelolaan keuangan, rekrutmen pegawai, dan promosi jabatan bisa berdasarkan kedekatan dan afiliasi keluarga atau keturunan. Birokrasi adalah institusi pemerintah yang harus dijaga dan terjaga netralitasnya dari kepentingan parsial maupun kepentingan politik manapun. Kepentingan birokrasi hanyalah pelayanan optimal terhadap warga negara. Sehingga pelanggaran fatal jika proses birokrasi diintervensi oleh kepentingan politik pegawai atau pejabat publik, baik dalam proses rekrutmen, pendidikan, promosi, evaluasi, maupun remunerasi .

Ketiga, pengembangan sistem akuntabilitas. Indikator good governance yang terpenting menurut saya adalah pada poin akuntabiltas karena akuntabilitas dengan kandungan maknanya mencakup poin lainnya khususnya transparansi. Akuntabilitas birokrasi meliputi kinerja pelayanan, keuangan, dan administrasi. Malpraktek birokrasi sering terjadi karena sistem akuntabilitas yang tidak berjalan. Rumusnya sederhana: kewenangan tanpa akuntabilitas akan menghasilkan korupsi.

Keempat, mengingat akuntabilitas seringkali diabaikan maka diperlukan satu sistem pengawasan. Melalui pengawasan akuntabilitas efektif bisa ditegakkan. Dalam konteks ini pengawasan bisa dilakukan oleh beberapa pilar: pengawasan internal (inspektorat), pengawasan eksternal (penegak hukum, lembaga auditor, ombudsmen), dan pengawasan media massa dan opini publik. Birokrasi yang sehat harus memberikan keleluasaan kepada tiga pilar tersebut untuk turut serta secara aktif dalam menegakkan akuntabilitas birokrasi.

Kelima, keempat hal di atas harus ditopang oleh suatu sistem regulasi (perundang-undangan) komprehensif dan sinergis dari pusat hingga daerah yang mementingkan dimensi pelayanan publik. Sejumlah daerah kabupaten/kota telah melakukan terobosan dengan menyusun Peraturan Daerah (Perda) Pelayanan Publik, sebut saja di Yogja, Sragen, Malang. Perda tersebut berisi standar pelayanan publik dan kontrak pelayanan antara pemda setempat dengan masyarakat. Terobosan semacam ini harus kita apresiasi dan harus dijadikan contoh bagi daerah-daerah lain.

Di tingkat pusat, Komisi II DPR RI saat ini tengah menyelesaikan RUU Pelayanan Publik yang dalam waktu dekat akan disahkan menjadi UU. RUU tersebut diharapkan dapat menjadi payung bagi pelaksanaan pelayanan publik, khususnya oleh birokrasi pemerintahan. Dengan sistem regulasi yang komprehensif dan sinergis diharapkan reformasi birokrasi memiliki pijakan yang kuat.

Terakhir, mengingat warisan kultur feodal yang masih kuat, pelayanan publik yang masih lamban, praktek suap dan korupsi yang masih menggurita dalam birokrasi kita maka langkah-langkah shock therapy perlu digalakkan. Langkah ini, antara lain, tengah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menyingkap kasus-kasus korupsi birokrasi dan menjebloskan ke penjara para pejabat publik yang korup. Sayangnya KPK masih belum banyak menjangkau birokrasi eksekutif terlebih di daerah. Karenanya saya mendukung perluasan KPK untuk dibentuk di setiap provinsi dan segera dituntaskannya UU tentang Tipikor agar sinergis dengan upaya percepatan reformasi birokrasi yang sedang berjalan. )i(

Selengkapnya...

Pendidikan Untuk Semua

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS


Realitas pendidikan Indonesia hari ini belum menunjukkan prestasi yang menggembirakan. Hal ini bisa dilihat dari segi pemerataan akses pendidikan dan dari kualitas mutu pendidikan yang berdampak pada daya saing sdm hasil pendidikan.

Dari segi pemerataan, kenyataannya, mayoritas rakyat belum bisa terlayani atau terjangkau pemerataan pendidikan secara baik khususnya di kalangan ekonomi menengah dan miskin. Bahkan, kalau dicermati, pendidikan di Indonesia masih berpihak pada orang-orang yang secara ekonomi tergolong mampu untuk menikmati fasilitas pendidikan berkualitas tinggi.



Pihak-pihak yang mendapatkan kesempatan menikmati sekolah unggulan atau favorit mulai tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi (PT), mereka adalah anak-anak dari golongan keluarga kaya. Sedangkan anak-anak dari keluarga miskin sulit menjangkau pendidikan bermutu.

Dari segi mutu pendidikan dan kualitas sdm hasil pendidikan, posisi Indonesia masih jauh dari ideal. Hal ini bisa dilihat dari peringkat Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang dirilis oleh United Nations Development Program (UNDP). Menurut laporan tersebut memang ada kemajuan dalam pembangunan manusia (human development) di Indonesia dari tahun ke tahun. IPM tahun 1975 sebesar 0,471, tahun 1985 (0,585), tahun 1995 (0,670), dan tahun 2005 (0,728). Namun, kenaikan itu masih kalah dibandingkan dengan negara lain, setidaknya dengan sesama Negara ASEAN.

Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109.

Capaian yang tergambar melalui IPM tersebut berkorelasi dengan dimensi kesejahteraan. Indikator pokok IPM menggambarkan tiga indikator yang merupakan indikator kualitas hidup manusia. Ketiganya adalah (1) Indikator angka harapan hidup menunjukkan dimensi umur panjang dan sehat; (2) Indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah memperlihatkan keluaran dari dimensi pengetahuan; dan (3) indikator kemampuan daya beli mempresentasikan dimensi hidup layak. Dengan demikian, rendahnya peringkat IPM Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan manusia Indonesia masih berada di tingkat bawah.

Berkaitan dengan itu, hingga saat ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat besar. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Meskipun terjadi penurunan, secara absolut angka ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (25 juta).

Angka kemiskinan tersebut menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp.5.500 per kapita per hari. Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar US$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 50-60% dari total penduduk.

Berdasarkan data-data di atas nampak jelas, program peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan akses pendidikan harus menjadi prioritas utama khususnya keberpihakan kebijakan pemerintah pada kelompok miskin. Karenanya pendidikan murah atau bahkan pendidikan gratis harus menjadi konsen kebijkaan publik.

Pendidikan Untuk Semua
Kesadaran akan pentingnya pendidikan sesungguhnya telah menjadi komitmen bersama. Konstitusi telah mengamanatkan pendidikan merupakan hak warga Negara dan menjadi tanggung jawab pemerintah. Konstitusi hasil amandemen telah pula mewajibkan pemerintah untuk mengalokasi minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Meskipun demikian, pemerintah tak kunjung mampu memenuhi amanat tersebut karena cekaknya dana APBN sampai akhirnya, di tahun 2009, 20% anggaran pendidikan terpenuhi dengan memasukkan komponen gaji guru dan dosen.

Strategi pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN terus dilakukan oleh pemerintah mengingat Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 026/PUU-III/2005 tertanggal 22 Maret 2006 menyatakan bahwa selama anggaran pendidikan belum mencapai 20% sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, maka APBN akan selalu bertentangan dengan UUD 1945.

Amanat konstitusi yang diperkuat dengan Putusan MK tersebut sesungguhnya memberikan pesan yang kuat bagi setiap pengambil kebijakan tentang pentingnya pendidikan yang secara implementatif semestinya dapat diwujudkan melalui kemudahan setiap warga negara untuk mengenyam pendidikan dengan dana yang ditanggung negara.

Sejalan dengan hal tersebut, program pendidikan gratis telah menjadi tema penting sejalan dengan konsep pendidikan untuk semua (education for all). UUD 1945 dan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan wajib belajar 9 tahun dan bersamaan dengan itu mewajibkan penggratisan biayanya. Sejumlah daerah telah menggratiskan biaya pendidikan SD dan SMP sebagaimana amanat UUD dan UU tersebut, sebut saja seperti: Kabupaten Musi Banyu Asin, Kabupaten Jembrana, dan Kota Yogjakarta. Namun sebagian yang lain belum bisa memenuhi dengan dalih keterbatasan anggaran. Kita yakin pendidikan gratis 9 tahun bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan jika pemerintah pusat dan setiap pemda memiliki komitmen terhadap dunia pendidikan.

Langkah-langkah strategis bisa dilakukan antara lain dengan upaya peningkatan pendapatan asli daerah, pengetatan anggaran, dan pemangkasan anggaran departemen/dinas sehingga benar-benar efektif menunjang program pendidikan gratis.

Bersamaan dengan komitmen pemerintah tersebut, peran partisipatif warga masyarakat melalui kemadirian lokal dan komunitas harus terus didukung. Lahirnya inisiatif sekolah rakyat, sekolah komunitas, dan lain sebagainya sangat membantu mewujudkan tujuan pendidikan untuk semua, sekaligus membantu mengatasi ketaksanggupan pendanaan pemerintah.

Selengkapnya...

Indikator Sukses Pembangunan Kota (Baru) Tangsel

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota DPR RI/Tim Perumus UU Pembentukan Kota Tangsel


Sebagai daerah otonom baru hasil pemekaran, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) memiliki potensi ideal ditinjau dari berbagai aspek, baik secara ekonomi, sosial politik, kemandirian, manajemen, tata pemerintahan, maupun dari segi kesiapan sdm aparatur dan masyarakat. Dengan potensi ideal tersebut semestinya pemerintahan kota dapat melaksanakan pembangunan secara cepat, tepat sasaran, dan lebih memfokuskan diri pada pelayanan publik dan mengatasi disparitas yang ada.

Dalam rangka ikut memberikan sumbangan pemikiran terhadap proses pembangunan Kota Tangsel, dimana penulis dalam kapasitas sebagai Anggota Komisi Pemerintahan DPR RI ikut mendorong dan membahas UU Pembentukan Kota Tangsel, berikut diulas sejumlah parameter/indikator pokok agar pembentukan daerah otonom, khususnya Kota Tangsel, dapat memenuhi tujuan utama peningkatan kesejahteraan masyarakat.



Pertama, indikator ekonomi. Status otonomi yang diberikan kepada Tangsel harus memberikan dampak langsung pada peningkatan perkapita dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hak otonomi yang dimiliki sangat memungkinkan daerah untuk berkreasi dalam pembangunan dengan memperhitungkan secara cermat potensi ekonomi. Pemerintah Kota Tangsel harus melakukan perencanaan pembangunan secara bertahap dengan parameter yang tepat. Prioritas pembangunan harus disusun secara cermat mulai dari pembangunan infrastruktur dasar dan seterusnya.

Kedua, indikator sosial politik. Harus dipahami betul bahwa aspirasi pembentukan Tangsel bukan hanya dimonopoli oleh sekelompok elit tertentu, akan tetapi muncul sebagai kesadaran sosial politik seluruh warga dalam rangka membangun dan mensejahterakan daerah. Sehingga siapapun pemimpin Tangsel harus bekerja keras untuk mewujudkan aspirasi kolektif warga masyarakat tersebut. Dengan pemahaman ini, status otonomi Tangsel harus mendorong semakin kuatnya kohesi sosial politik diantara masyarakat. Di sejumlah daerah otonom baru, status otonomi justru menyebabkan perpecahan bahkan berujung konflik horizontal. Hal ini terjadi karena aspirasi otonomi dimaknai sekadar kepentingan politik kekuasaan.

Ketiga, indikator kemandirian. Dalam UU pembentukan daerah otonom baru selalu dimandatkan masa transisi, dimana secara finansial dan administrasi, setiap daerah otonom, termasuk Kota Tangsel, mendapatkan subsidi dari daerah dan/atau provinsi induk. Dalam jangka tertentu, daerah otonom baru harus semakin mantap dan kuat dalam melepaskan diri dari ketergantungan terhadap daerah induk maupun pemerintah pusat. Kemandirian dimaksud bukan hanya secara finansial dan dukungan administrasi pemerintahan akan tetapi tercermin dalam tiga hal yaitu: (1) menyelesaikan masalah sendiri/orientasi masyarakat setempat; (2) dengan inisiatif dan prakarsa solutif masyarakat setempat; serta (3) dengan memanfaat potensi sumber daya setempat.

Keempat indikator organisasi dan manajemen. Status otonomi harus berdampak pada peningkatan dan pertumbuhan organisasi dan manajemen daerah yang berdampak langsung pada kualitas pembangunan. Dengan otonomi seharusnya manajemen daerah harus menjadi semakin efektif dan efisien dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Berbagai potensi sumber daya: sumber daya masyarakat, sumber daya aparatur, sumber daya finansial, sumber daya organisasi perangkat, serta prasarana dasar harus semakin tertata dan menghasilkan perbaikan dari waktu ke waktu. Di beberapa daerah pemekaran, keterbatasan SDM Aparatur, Finansial, Organisasi perangkat, dan sarana-prasarana dasar seringkali menjadi masalah besar dan tidak menunjukkan adanya perbaikan dari waktu ke waktu. Patut disyukuri segala potensi sumber daya dimaksud insya Allah tidak ada kendala di Kota Tangsel.

Kelima, indikator jangkauan dan pelayanan. Salah satu alasan utama pembentukan daerah otonom adalah adanya realitas tidak efektif dan efisiennya pelayanan publik, terutama karena jauhnya jarak pemerintahan. Status otonomi harus menjadikan jangkauan pelayanan kepada masyarakat semakin efisien dan efektif karena masyarakat dapat langsung mendapatkan layanan oleh aparat setempat (di daerahnya). Artinya, masyarakat semakin mudah dan murah memenuhi kebutuhannya, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Pemkot Tangsel harus memantapkan tujuan dasar pemerintahan dalam era otonomi yaitu pelayanan. Pemerintah adalah pelayanan masyarakat (civil servant), bukan abdi negara (yang cenderung melayani penguasa) sebagaimana langgam yang selama ini terjadi.

Keenam, indikator kualitas pelayanan publik. Setelah jangkauan pelayanan semakin dekat, maka kualitas pelayanan harus meningkat sejalan dengan penguatan hak otonomi yang dimiliki daerah otonom baru. Ketersediaan pelayanan dasar seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, peningkatan daya beli masyarakat, transportasi dan komunikasi, kependudukan dan lainnya harus secara kualitatif dan kuantitatif mengalami peningkatan. Status otonomi yang tidak berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat harus menjadi tanda tanya besar bagi indikator keberhasilan pembentukan daerah otonom. Pemkot Tangsel dituntut untuk dapat mewujudkan pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bahkan, bila menghitung potensi PAD yang dimiliki Kota Tangsel, semestinya kebutuhan dasar tersebut dapat digratiskan.

Ketujuh, indikator good local governance. Musuh utama kewenangan (otonomi) yang melimpah adalah kecenderungan korupsi oleh aparatur pemerintahannya. Oleh karena itu, status otonomi harus membawa efek pada perwujudan tata pemerintahan yang bersih dan baik, bukan sebaliknya justru menyebabkan semakin suburnya korupsi. Good local governance terbentuk jika akuntabilitas pemerintahan daerah semakin baik, transparansi semakin tinggi, prinsip rule of law semakin dapat ditegakkan, partisipasi masyarakat semakin meningkat, pemerintahan yang semakin efisien dan efektif, konflik kepentingan dalam birokrasi dapat dikurangi, dan pengisian jabatan-jabatan karir tidak dipenuhi dengan praktek KKN. Pemkot Tangsel harus mampu menjadi pioner pemerintahan yang bersih, minimal terukur dari kinerja pelaporan keuangan yang setiap tahun diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dan terakhir, kedelapan, indikator responsiveness pemerintahan. Status otonomi harus mendorong pemerintahan daerah yang memiliki daya tanggap dalam merumuskan kebutuhan dan potensi daerah. Hal tersebut dapat dilihat dari rencana strategis, program dan implementasi program-program pembangunan. Jika tidak terdapat rencana strategis, program dan implementasi program yang inovatif, maka pembentukan daerah otonom tidak menumbuhkan daya tanggap daerah terhadap potensi dan kebutuhan daerah.

Kedelapan indikator sukses pembangunan daerah otonom baru di atas diharapkan dapat menjadi tolak ukur pembangunan Kota Tangsel yang sama-sama kita cintai. Berkah otonomi sudah sewajarnya tidak berhenti pada euforia pembentukannya semata, melainkan harus diisi dengan kerja-kerja nyata bagi peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat Tangsel.

(dimuat di Satelit News, 21/3, Kolom Interupsi)

Selengkapnya...

Suara Terbanyak dan Antisipasi Money Politics

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota Pansus Pemilu DPR RI dari Fraksi PKS

Pada 23 Desember 2008 yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapuskan sistem nomor urut dalam menentukan anggota legislatif terpilih seperti yang sebelumnya diatur dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR,DPD,dan DPRD. Dengan dihapusnya sistem nomor urut tersebut, MK menegaskan keberlakuan sistem suara terbanyak dalam penentuan calon terpilih pada Pemilu Legislatif 2009 dan Pemilu-Pemilu setelahnya.

Putusan MK tersebut mengubah kontestasi persaingan antar caleg di internal partai politik. Di satu sisi hal ini dinilai mengancam soliditas partai dan pada saat yang sama meningkatkan potensi konflik di dalam parpol. Namun di sisi yang lain, hal ini mencerminkan keadilan bagi setiap calon.



Mengingat Putusan MK bersifat final dan tidak ada upaya hukum lain, maka sikap yang paling tepat adalah melaksanakan secara konsekuen, menegaskan nilai positifnya, sambil mengantisipasi potensi negatit yang akan muncul.

Persaingan Makin ketat, Potensi Politik Uang Makin Tinggi
Secara postif, sistem suara terbanyak hasil Putusan MK dapat menegakkan keadilan baik bagi rakyat pemilih maupun bagi calon anggota legislatif (caleg). Dalam perspektif rakyat pemilih, suara terbanyak menjamin afirmasi suara mayoritas rakyat sebagai yang terpilih. Hal ini menegakkan prinsip demokrasi sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat.

Putusan MK memangkas kewenangan parpol untuk menentukan calon terpilih, dan pada saat yang sama mengembalikan kewenangan itu kepada rakyat. Parpol cukup memiliki kewenangan dalam menominasikan seseorang menjadi calon, dan di sinilah domain parpol, sementara penentuan calon terpilih adalah domain rakyat.

Bagi caleg, siapapun dia dan dalam posisi atau di nomor berapa pun, dia memiliki potensi yang sama untuk meraih kepercayaan rakyat sebagai anggota DPR/DPRD. Desain sistem ini positif karena kompetisi didasarkan pada prinsip keadilan. Selanjutnya tinggal diatur agar kompetisi berlangsung secara adil (fair). Hal ini penting agar semangat keadilan yang dijadikan basis argumentasi konstitusional sistem suara terbanyak tidak sia-sia. Apalagi paska putusan MK sudah muncul geliat persaingan yang mengkhwatiran di antara caleg. Hal yang harus dicermati serius adalah soal kecenderungan menguatnya politik uang (money politics).

Potensi money politics diprediksi kian besar karena politik pemilihan kita masih mendasarkan pada hal-hal yang bersifat pragmatis. Calon anggota legislatif belum sepenuhnya dilihat berdasarkan kualitas dan komitmennya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Caleg-nya sendiri acapkali memanfaat segala hal untuk meraih elektabilitas, termasuk dalam hal ini penggunaan uang sebagai alat untuk merayu pemilih.
Rakyat cukup diberi uang dalam jumlah tertentu untuk memilih sebuah nama. Semakin besar uang yang digelontorkan, kian besar pula meraih suara terbanyak. Dalam hal ini, suara terbanyak adalah uang terbanyak. Seorang aktivis parpol tetapi tak punya uang, ia akan tersisih oleh “muka baru” tetapi pundi-pundi kekayaannya sangatlah banyak.
Suara terbanyak belum tentu identik dengan kualitas politisi yang terpilih duduk di DPR/DPRD. Dari sisi sirkulasi elite, sistem suara terbanyak memang sangat baik, namun dari sisi kualitas belum tentu ini menjamin kualitas parlemen kita mendatang. Dalam rangka penguatan demokrasi, tentu saja kita berharap agar sistem suara terbanyak dapat mendorong rakyat untuk memilih pemimpin yang berkualitas.
Barangkali sisi-sisi negatif ini yang patut dicermati KPU maupun Bawaslu/Panwaslu sebagai penyelenggara Pemilu. Pengawasan harus diperketat, daya cium terhadap pelanggaran ditingkatkan, dan pada akhirnya sanksi patut ditegakkan. Setidaknya orang akan berpikir panjang untuk meraih suara sebanyak-banyaknya dengan cara tak patut.

Penyelenggara dan pengawas pemilu harus mengantisipasi dan dapat mencegah kemungkinan praktik jual-beli suara oleh para calon anggota legislatif yang merasa tidak populer. Sekadar antisipasi, belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya, tempat yang dinilai rawan terjadinya jual-beli suara adalah di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dimana caleg yang curang dimungkinkan dapat mengotak-atik hasil pemilihan dengan ‘membeli’ petugas pemilu di lapangan. Dalam hal ini peran pengawas, saksi parpol, pemantau pemilu, dan masyarakat perlu diberdayakan untuk selalu mendorong transparansi dalam proses pemilihan dan penghitungan suara.

Keputusan di Tangan Rakyat
Eesensi Putusan MK adalah menegakkan prinsip bahwa keputusan penting di negeri ini ada di tangan rakyat. Suara terbanyak yang dipilih rakyat secara otomatis akan menjadi wakil rakyat. Oleh karena itu upaya untuk meyakinkan rakyat agar memilih yang terbaik menjadi sangat penting. Kita berharap agar rakyat memberikan pilihan sesuai hati nurani dan mementingkan rekam jejak (track record) kualitas calon. Jangan memilih semata-mata karena popularitas, apalagi karena uang. Karena pilihan pada bulan April mendatang akan menentukan masa depan rakyat, minimal dalam lima tahun ke depan.

Dalam konteks tersebut, penerapan sistem suara terbanyak menuntut pendidikan politik publik yang lebih agresif dan penyediaan informasi yang lebih baik. Hal ini harus menjadi perhatian serius dari KPU selaku penyelenggara pemilu. KPU selama ini dikirik belum melakukan sosialisasi secara optimal. Paska Putusan MK, KPU harus segera menerbitkan aturan teknis pelaksanaan dan mendorong publik untuk memilih calon berdasarkan kualitas.

Pendidikan politik dan penyediaan informasi ini penting untuk menghindari terpilihnya caleg-caleg dengan kualitas seadanya. Dengan publik yang lebih terdidik dan memiliki informasi yang lebih banyak mengenai alternatif-alternatif yang tersedia dalam pemilu, pemilih akan membuat keputusan yang lebih baik dan bijak dalam menentukan pilihannya dalam pemilu mendatang.

Bagi para caleg, komitemen untuk tidak melakukan money politics harus menjadi kesadaran utama. Rasanya masih banyak cara lain dan legal untuk meraup suara rakyat itu. Jika seseorang punya rekam jejak bagus di mata rakyat, sekaligus punyak komitmen untuk memperbaiki nasib rakyat, agaknya punya peluang untuk meraup suara rakyat sebanyak-banyaknya. Sekarang tinggal mengkomunikasikan rekam jejak itu dan menegaskan komitmen kepada rakyat.

Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Diterapkannya sistem suara terbanyak tidak serta-merta membawa perubahan positif bagi demokrasi Indonesia. Potensi-potensi positif yang ada dalam penerapan sistem ini baru akan terealisasi jika penerapan sistem suara terbanyak ini diikuti kebijakan-kebijakan lain.

Pertama, parpol sebagai pelaksana fungsi rekrutmen elit ke depan harus serius menominasikan calon yang benar-benar berkualitas, memiliki rekam jejak yang positif, dan memiliki pengabdian kepada masyarakat lewat aktivitas yang selama ini mereka lakukan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sekaligus mengikis kecenderungan berlakunya praktik money politics dalam meraih dukungan pemilih.

Kedua, pendidikan politik harus terus-menerus dilakukan dalam rangka mendorong rakyat untuk memberikan pilihan politik yang lebih objektif dan rasional. Hal ini bukan saja menjadi tanggung jawab penyelenggara atau lembaga swadaya masyarakat, namun yang jauh lebih penting hal ini sebenarnya menjadi tanggung jawab partai politik. Dalam UU tentang Partai Politik jelas ditegaskan bahwa salah satu fungsi parpol adalah melakukan pendidikan politik.

Jika dua hal ini dilakukan secara serius dan konsisten, kita akan mendapati sistem suara terbanyak akan kondusif meningkatkan derajat demokrasi menjadi lebih baik, berkualitas, dan bertanggung jawab.

Selengkapnya...

Profil H. Jazuli Juwaini, MA

“MENUNAIKAN AMANAH UMAT”


Jazuli Juwaini lahir di Bekasi pada tanggal 2 Maret 1965. Sejak tahun 1990 sampai saat ini tinggal dan menjadi warga Ciputat Banten (Kakek/Nenek berasal dari Kronjo Tangerang). Sejak tahun 2004, Ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari daerah pemilihan Banten II (Kabupaten/Kota Tangerang). Hadir di Senayan sebagai anggota legislatif dari Partai Keadilan Sejahtera.

Sejak dilantik menjadi anggota dewan, Jazuli Juwaini memilih tetap tinggal di rumah pribadinya di Tangerang ketimbang tinggal di rumah dinas Kalibata. Hal ini dilakukan karena ia ingin lebih dekat dengan masyarakat dan konstituen. Untuk itu Jazuli senantiasa mebuka pintu rumahnya bagi setiap aspirasi masyarakat. Setiap hari, di luar aktivitas kedewanan, jadwalnya selalu padat berinteraksi dengan masyarakat yang berkunjung ke rumah maupun memenuhi undangan khutbah, pengajian, majelis taklim dan lain sebagainya di Dapilnya. Dengan modal tersebut Jazuli memiliki pemahaman yang baik dan dapat berempati terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat.



Jika orang pada umumnya memiliki banyak waktu bersama keluarga, hari-hari Jazuli justru banyak diisi dengan aktivitas bersama warga masyarakat, meskipun di hari-hari libur (Sabtu-Minggu). Menyoal keadaan ini, Jazuli memberikan pemahaman kepada keluarga khususnya kepada anak-anak bahwa dirinya bukan hanya milik keluarga tetapi juga milik umat. Namun demikian, jika ada di rumah, Jazuli selalu menghadirkan kebersamaan dan kehangatan keluarga serta menghidupkan shalat jamaah.

Di DPR RI, Jazuli duduk di Komisi II yang membidangi Politik dan Pemerintahan. Komisi ini dianggap sebagai ujung tombak reformasi yang sejak 1997/98 disuarakan oleh rakyat Indonesia karena berhubungan langsung dengan penciptaan tata pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government). Fraksi PKS memberikan kepercayaan kepada Jazuli untuk memimpin komisi ini di tingkat Fraksi. Sehingga otomatis ia menjadi rujukan dan juru bicara Fraksi terkait dengan pelbagai persoalan dalam lingkup tugas komisi II di DPR RI.

Di Komisi ini, ia aktif dalam pembahasan beberapa Undang-Undang, antara lain: UU Penyelenggara Pemilu (sebagai Wakil Ketua), UU Administrasi dan Kependudukan, UU Ibu Kota Negara, UU Pajak dan Retribusi Daerah, UU Perubahan Kedua UU 32/2004, UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan UU Pemilu Presiden-Wapres, UU Pembentukan Kota Tangerang Selatan, RUU Pelayanan Publik, juga aktif mendorong disahkannya UU tentang Pornografi dan UU tentang Perbankan Syariah, dan saat ini dipercaya menjadi Ketua Tim Kerja (Timja) Pertanahan DPR RI. Di luar komisi II, Jazuli diutus Fraksi untuk duduk menjadi anggota Panitia Anggaran DPR-RI.

Meski sibuk sebagai anggota dewan, karakternya sebagai da’i tidak pernah luntur. Bahkan, parlemen dijadikannya mimbar dakwah yang lebih luas, sehingga ditengah-tengah kesibukannya sebagai anggota dewan ia tetap memberikan tausyiah baik secara langsung maupun melalui media televisi, dan kerap pula diundang ke manca negara dalam rangka muhibah dakwah.

Tak ingin menyiakan amanah masyarakat, dengan mengucap bismillah, ia mematok sebuah komitmen ingin menjadi wakil rakyat yang amanah, profesional, dan menghadirkan perubahan. Anggota FPKS yang sempat dipercaya menjadi calon Bupati Tangerang pada pilkada Januari 2008 lalu ini, acapkali menjadi rujukan media massa atas persoalan-persoalan komisi II, termasuk sering diundang sebagai narasumber berbagai seminar terkait pemilu-pilkada, otda, dan pemerintahan. Jazuli juga produktif menuangkan gagasan dan pemikiran dalam bentuk buku sehingga konsepsinya terhadap berbagai hal lebih utuh dan komprehensif dipahami oleh masyarakat.

Komitmenya terhadap implementasi otonomi yang lebih baik dan reformasi birokrasi telah ia tuangkan dalam sejumlah artikel opini dan banyak wawancara di media massa. Kumpulan opini dan wawancaranya itu sempat ia kumpulkan dalam sebuah buku Pertanggungjawaban Konstituen berjudul “Menunaikan Amanah Umat” (2006).

Dalam pengantar buku ini, Ketua MPR RI Dr. H. M. Hidayat Nurwahid, MA mengapresiasi Jazuli Juwaini sebagai da’i yang giat berdakwah bahkan hingga ke berbagai pelosok daerah dan ke luar negeri. Staminanya luar biasa. Hingga kini, ketika beliau telah menjadi anggota DPR, aktivitas dakwah ke masyarakat tak pernah surut beliau lakukan di sela-sela tugas kedewanan.

Sementara Ketua Fraksi PKS DPR RI Drs. Mahfudz Siddiq, M.Si menyebut Jazuli Juwaini sebagai “The Rising Star” di Senayan. Menurut beliau, Jazuli merupakan salah satu anggota legislatif FPKS yang dalam waktu cepat mampu membangun performance-nya secara baik. Dalam parameter komunikasi publik, hal itu terlihat jelas dari bobot tampilannya di media massa. Jika banyak anggota DPR masih dalam posisi mengejar wartawan, wakil rakyat dari Banten yang satu ini justru telah menempati posisi dikejar wartawan. Pernyataan-pernyataannya di berbagai media selalu lugas, cerdas dan jelas. Hal ini bukan saja meningkatnya leverage-nya sebagai politisi, tetapi juga mengangkat leverage FPKS sebagai salah satu fraksi yang diperhitungkan di DPR RI.

Khusus mengenai persoalan dan perkembangan pelaksanaan otonomi daerah, Jazuli Juwaini memiliki perhatian yang amat serius. Banyak sekali lontaran pemikirannya di media massa soal ini. Dan untuk membingkai pokok-pokok pikirannya itu, Jazuli menulis buku berjudul “Otonomi Sepenuh Hati: Catatan Perbaikan Implementasi Otonomi Daerah” (2007).

Dalam buku ini Jazuli menegaskan bahwa otonomi harus diberikan pusat ke daerah dengan sepenuh hati dan daerah harus melaksanakan otonomi secara bertanggung jawab. Sehingga pasca otonomi tidak ada lagi upaya tarik-menarik kepentingan (resentralisasi) antara pusat dan daerah. Jazuli juga menekankankan pentingnya makna otonomi sebagai otonomisasi masyarakat, bukan sekadar otonomi administratif.

Atas konsepsi pemikirannya tersebut, Mantan Menteri Otda Prof. Muhammad Ryaas Rasyid, MA, PhD, dalam pengantarnya menilai Jazuli memiliki komitmen yang kuat untuk memberdayakan dan membangun masyarakat. Prof. Ryaas juga mendukung kritik yang disampaikan terhadap adanya gejala resentralisasi kewenangan yang berlindung di balik fungsi pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah pusat. Menurut Prof. Ryaas penilaian ini sangatlah tepat dan seyogianya menjadi alasan untuk menilai kembali perjalanan otonomi daerah.

Buku Jazuli yang paling akhir berjudul “Memimpin Perubahan di Parlemen” (2009). Buku ini berisi informasi ringkas mengenai DPR RI dan memuat catatan sederhana bagaimana seharusnya lembaga DPR dan anggotanya memaknai kehadirannya dalam kerangka politik perubahan. Guru Besar Hukum Tata Negara UI Prof. Dr. Satya Arinanto, SH, MH mengapresiasi upaya Jazuli Juwaini menulis buku ini karena didasarkan pada pengalaman-pengalaman dalam praktek-praktek ketatanegaraan. Menurutnya, hal ini niscaya akan semakin memperkaya kepustakaan ilmu hukum tata negara dan ilmu politik di Indonesia.

Atas berbagai karya dan kiprahnya selama di DPR RI periode 2004-2009 dan kepercayaan masyarakat, saat ini Jazuli Juwaini kembali diberikan amanah oleh PKS untuk menjadi Caleg DPR RI dari daerah pemilihan Banten III (Kabupaten/Kota Tangerang), nomor urut 2.

Selengkapnya...

Bukan Milik Keluarga Tapi Milik Umat

Profil Media
Radar Banten, 16 Februari 2006


Diakui H Jazuli Juwaini, waktu untuk keluarganya sangat sedikit. Di gedung rakyat pusat, lebih dari separo waktunya dihabiskan untuk mengemban amanah rakyat. Sejak pukul 09.00 wib hingga 24.00 wib Jazuli Juwaini harus bekerja keras sebagai wakil rakyat di DPR RI. Ditambah dengan aktivitas lain.

Di tengah seabrek aktivitas di luar rumah itu, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari daerah pemilihan Banten II tidak pernah mengesampingkan keluarganya. Padahal, waktu luang untuk keluarga sangat minim. Namun Jazuli berusaha mengefektifkan pertemuan dengan keluarganya. Sehingga hubungan antar anggota keluarga dapat terjalin harmonis.


“Dari awal, saya membangun konsolidasi dengan keluarga. Kepada keluarga, saya tekankan kalau saya ini bukan milik keluarga. Tapi milik umat. Kepada keluarga, saya juga tanamkan agar tidak merasa bangga dengan aktivitas saya sebagai anggota DPR. Meskipun pertemuan saya dengan keluarga hanya sebentar, namun pertemuan itu berkualitas. Bahkan saya bersama keluarga sering beribadah berjamaah. Alhamdulillah, keluarga dapat menerima,” kata Jazuli menceritakan kehidupan keluarganya.

Dalam kesehariannya, Jazuli beserta keluarga lebih memilih tempat tinggal di rumah pribadinya di Ciputat, Tangerang-Banten. Padahal, sebagai anggota DPR RI, dia juga mendapatkan fasilitas rumah dinas dengan segala kemewahan dan kelengkapan fasilitasnya. Sebagai pengemban amanah rakyat, Jazuli tidak mempunyai keinginan jauh dari rakyat. Dia mengaku, merasa takut rakyat terluka akibat aspirasinya tidak tersalurkan gara-gara wakil rakyat yang dipilihnya jauh. Kata dia, di rumah pribadinya, kendati tidak semewah dan selengkap rumah dinas yang tersedia, Jazuli beserta keluarga merasakan kenyamanan. Dia merasa dekat dengan masyarakat sehingga aspirasi masyarakat yang akan disampaikan gampang tersalurkan.

Dalam menjalin hubungannya dengan masyarakat, Jazuli tidak meninggalkan kegiatan lamanya yaitu memberikan ceramah keagamaan di berbagai tempat. Hanya saja, setelah menjadi anggota dewan pusat, salah satu kegiatan ibadah itu mulai menurun.

“Dulu saya sering ceramah ke beberapa negara Eropa, seperti Belanda, Jerman, dan Belgia. Namun sekarang, kegiatan tersebut mulai jarang, hanya ketika tidak ada rapat atau masa reses saya gunakan untuk ceramah. Kalau dulu, ketika diundang ceramah saya dapat honor. Sekarang tidak ada honornya. Kalaupun ada, saya tolak,” katanya sembari tersenyum.

Segudang kegiatan yang menyita banyak waktunya itu ternyata tidak membuat Jazuli berhenti olah raga. Secara rutin, Jazuli menyempatkan diri untuk bermain bulu tangkis. Dan biasa dilakukan setiap hari Jumat, habis Ashar atau habis Maghrib. Sementara setiap hari Rabu sore, keliling menggunakan sepeda.

Akan tetapi, dari semua kegiatan itu, satu hal yang membuat perasaan Jazuli tentram tinggal di rumah pribadinya karena kesibukannya mengelola Pondok Pendidikan Yatim/Dhuafa Al Ummah. Pondok yang terletak di depan rumahnya itu menampung 85 anak-anak yatim korban kerusuhan Ambon, beberapa tahun silam. Anak-anak yang tidak mempunyai keluarga itu, dia tampung dan diberikan pendidikan agam dan pendidikan formal. Untuk itu, setiap bulannya, Jazuli merogoh kocek pribadinya sekitar Rp 10 juta. “Untuk tingkat nasional, sedikit. Pondok ini saya bangun karena sejak kecil saya sudah yatim. Saya merasakan betul bagaimana menjadi anak yatim,” kenangnya.

Selengkapnya...

Profil KH. Jazuli Juwaini, Lc, MA

Jazuli Juwaini lahir di Bekasi pada tanggal 2 Maret 1965. Sejak tahun 1990 sampai saat ini tinggal dan menjadi warga Ciputat Banten (Kakek/Nenek berasal dari Kronjo Tangerang). Sejak tahun 2004, Ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari daerah pemilihan Banten II (Kabupaten/Kota Tangerang). Hadir di Senayan sebagai anggota legislatif dari Partai Keadilan Sejahtera.

Di DPR RI, Jazuli duduk di Komisi II yang membidangi Politik dan Pemerintahan. Komisi ini dianggap sebagai ujung tombak reformasi yang sejak 1997/98 disuarakan oleh rakyat Indonesia karena berhubungan langsung dengan penciptaan tata pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government). Fraksi PKS memberikan kepercayaan kepada Jazuli untuk memimpin komisi ini di tingkat Fraksi. Sehingga otomatis ia menjadi rujukan dan juru bicara Fraksi terkait dengan pelbagai persoalan dalam lingkup tugas komisi II di DPR RI.


Di Komisi ini, ia aktif dalam pembahasan beberapa Undang-Undang, antara lain: UU Penyelenggara Pemilu (sebagai Wakil Ketua), UU Administrasi dan Kependudukan, UU Ibu Kota Negara, UU Pajak dan Retribusi Daerah, UU Perubahan Kedua UU 32/2004, UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan UU Pemilu Presiden-Wapres, UU Pemekaran Wilayah, RUU Pelayanan Publik, juga aktif mendorong disahkannya UU tentang Pornografi dan UU tentang Perbankan Syariah, dan saat ini dipercaya menjadi Ketua Tim Kerja (Timja) Pertanahan DPR RI. Di luar komisi II, Jazuli diutus Fraksi untuk duduk menjadi anggota Panitia Anggaran DPR-RI.

Meski sibuk sebagai anggota dewan, karakternya sebagai da’i tidak pernah luntur. Bahkan, parlemen dijadikannya mimbar dakwah yang lebih luas, sehingga ditengah-tengah kesibukannya sebagai anggota dewan ia tetap memberikan tausyiah baik secara langsung maupun melalui media televisi, dan kerap pula diundang ke manca negara dalam rangka muhibah dakwah.

Tak ingin menyiakan amanah masyarakat, dengan mengucap bismillah, ia mematok sebuah komitmen ingin menjadi wakil rakyat yang amanah, profesional, dan menghadirkan perubahan. Anggota FPKS yang sempat dipercaya menjadi calon Bupati Tangerang pada pilkada Januari 2008 lalu ini, acapkali menjadi rujukan media massa atas persoalan-persoalan komisi II, termasuk sering diundang sebagai narasumber berbagai seminar terkait pemilu-pilkada, otda, dan pemerintahan.

Komitmenya terhadap implementasi otonomi yang lebih baik dan reformasi birokrasi telah ia tuangkan dalam sejumlah artikel opini dan banyak wawancara di media massa. Kumpulan opini dan wawancaranya itu sempat ia kumpulkan dalam sebuah buku Pertanggungjawaban Konstituen berjudul “Menunaikan Amanah Umat” (2006).

Khusus mengenai persoalan dan perkembangan pelaksanaan otonomi daerah, Jazuli Juwaini memiliki perhatian yang amat serius. Banyak sekali lontaran pemikirannya di media massa soal ini. Dan untuk membingkai pokok-pokok pikirannya itu, buku berjudul “Otonomi Sepenuh Hati: Catatan Perbaikan Implementasi Otonomi Daerah” (2007).

Bukunya yang paling akhir berjudul “Memimpin Perubahan di Parlemen”. Buku ini berisi informasi ringkas mengenai DPR RI dan memuat catatan sederhana bagaimana seharusnya lembaga DPR dan anggotanya memaknai kehadirannya dalam kerangka politik perubahan.


Selengkapnya...

Rabu, 29 Juli 2009

Jaminan Kualitas Pelayanan Publik

Oleh: Jazuli Juwaini, MA
Anggota Komisi II DPR RI dari FPKS
Anggota Panja RUU Pelayanan Publik


Rapat Paripurna DPR RI (Selasa, 23/6) akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelayanan Publik menjadi Undang-Undang (UU). Dari sejumlah UU yang telah disahkan oleh DPR RI periode 2004-2009 mungkin inilah UU yang benar-benar bersentuhan langsung dengan hajat hidup rakyat banyak karena berkaitan erat dengan pemenuhan hak-hak dasar warga negara.

Hadirnya negara dengan segala instrumennya pada prinsipnya adalah untuk melayani warganya karena negara dibangun di atas kesepakatan (kontrak) warga negara untuk mengatur hajat hidup bersama berdasarkan prinsip keadilan dan pemerataan.


Namun sayangnya, realitas pelayanan publik yang dilakukan birokrasi dan korporasi penyelenggara pelayanan publik masih jauh panggang dari api. Rendahnya kualitas pelayanan publik, mengakibatkan masyarakat sebagai pengguna jasa harus membayar biaya yang mahal (high cost economy) untuk pelayanan publik. Ketidakpastian (uncertainty) waktu, dan ketidakpastian biaya membuat masyarakat malas dan jengkel berhubungan dengan birokrasi.

Hasil Riset lembaga The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) masih menempatkan Indonesia, disusul Thailand, sebagai negara terkorup di Asia. Indonesia mendapatkan skor 8,32, dari skor terburuk 10. Sementara Thailand memperoleh skor 7,63, disusul Kamboja dengan skor 7,25, India 7,21 and Vietnam 7,11.

Sedangkan Filipina yang menjadi negara terkorup tahun 2008 mendapatkan skor 7,0, atau menempati rangking enam sebagai negara terkorup di Asia. Sementara Singapura (1,07) , Hongkong (1,89), dan Australia (2,4) menempati tiga besar negara terbersih, meskipun ada dugaan kecurangan sektor privat. Sementara Amerika Serikat menempati urutan keempat dengan skor 2,89. Nyatanya korupsi di sektor publik dan sektor privat masih tinggi di Indonesia. Fakta ini menjadi tantangan tersendiri bagi upaya reformasi birokrasi di Indonesia.

Buruknya kinerja birokrasi pemerintahan di Indonesia menjadi penentu rendahnya minat masyarakat maupun perusahaan untuk melakukan investasi. Investasi yang rendah akan berdampak pada rendahnya lapangan kerja, banyaknya pengangguran dan tidak menutup kemungkinan berdampak pula pada tingkat kriminalitas yang tinggi di daerah.

Berkaca pada realitas tersebut, dibutuhkan upaya struktural untuk mereformasi birokrasi melalui perbaikan birokrasi di lini terdepan: lini pelayanan publik. Malpraktek birokrasi pelayanan publik tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Birokrasi harus memiliki mind-set (pola pikir) dan culture-set (budaya kerja) yang produktif, efisien dan efektif, transparan, dan akuntabel serta responsif dalam memberikan pelayanan publik. Dan, inilah alasan utama (raison d’ etre) lahirnya UU Pelayanan Publik.

Langkah Awal
Salama ini produk kebijakan di sektor pelayanan publik masih berada pada tingkat keputusan menteri, belum menjadi undang-undang. Padahal idealnya, pelayanan publik merupakan kewajiban pemerintah terhadap rakyat maka sudah seharusnya diurus secara serius dan bertanggung jawab. Pelayanan publik berikut standar pelaksanaannya hanya dipayungi oleh Keputusan MENPAN Nomor 63 tahun 2003 yang operasionalnya diserahkan kepada departemen, lembaga pemerintahan, serta pemerintah daerah.

Persoalannya masing-masing departemen/lembaga dan pemda belum memiliki kesadaran dan komitmen (good will dan political will) kolektif yang ‘memaksa’ mereka untuk memberikan layanan yang terbaik. Selain itu belum ada instrumen reward and punishment yang kuat serta memberikan efek jera.

Akibatnya, secara umum pelayanan publik di Indonesia belum menampakkan perbaikan yang berarti. Memang ada beberapa contoh baik (best practice) dalam pelayanan publik dari sejumlah daerah seperti Kota Sragen, Kabupaten Jembrana, atau Kota Tarakan, namun jumlahnya tidak seberapa dibanding contoh buruk (bad practice) birokrasi pelayanan kita.

UU Pelayanan Publik hadir untuk mengisi celah kekosongan aturan hukum yang bersifat nasional dalam rangka membangun kesadaran dan komitmen kolektif yang kuat, sistemik, dan komprehensif. Namun demikian, UU ini barulah langkah awal dari grand design reformasi birokrasi yang komponennya bukan hanya meliputi struktur tata aturan hukum tetapi juga kultur birokrasi, penegakan hukum (law enforcement) dan kemauan politik para pemimpin dan penyelenggara pelayanan publik.

Aturan dalam UU Pelayanan Publik yang baru disahkan memberikan optimisme bagi kita. Paling kurang UU ini memberikan satu dorongan (endorsement) yang kuat dan komprehensif terkait penyelenggaraan pelayanan publik dan berlaku nasional. UU ini memberikan panduan - baik bagi penyelenggara pelayanan publik maupun bagi masyarakat penerima pelayanan publik - tentang hak, kewajiban, etika, dan larangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

UU juga menjamin pemberian pelayanan (delivery service) yang professional, akuntabel, efektif, dan efisien. Sebaliknya memberikan sanksi yang tegas dan terukur atas pelanggaran dan/atau penyalahgunaan pelayanan publik. Jenis-jenis sanksi berupa teguran tertulis, penurunan gaji, penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian dari jababatan baik dengan hormat maupun tidak hormat sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan.

Bagi instansi penyelenggara pelayanan publik bisa dikenakan sanksi pembekuan misi dan/atau izin hingga pencabutan izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah. Sebaliknya, bagi penerima layanan terdapat ketentuan mendapatkan ganti rugi jika terdapat kerugian sebagaimana diatur dalam UU ini. Diharapkan dengan sanksi tegas diatur tersebut dapat memberikan efek jera dan dorongan untuk senantiasa memperbaiki kualitas pelayanan.

Singkat kata, UU Pelayanan Publik telah memberikan panduan dan standar pelaksanaan pelayanan publik yang baik dan berkualitas. Namun sekali lagi keluarnya UU ini baru langkah awal dari proses reformasi birokrasi pelayanan publik. Langkah selanjutnya adalah komitmen para pemimpin, aparatur negara, dan pelaksana pelayanan publik untuk melaksanakannya secara konsekuen.

Selengkapnya...

Bukan Paduan Suara

Photobucket

Arsip Blog

 

Pemikiran Jazuli

Photobucket
Kerukunan antarumat beragama perlu dirawat. Merawatnya dengan berbagai macam cara, tapi yang terpenting cara itu harus didasari atas kesadaran bersama untuk menjaga segala potensi yang merusak bangunan kerukunan. Oleh karena itu setiap umat beragama harus menyadari bahwa kunci utama merawat bangunan itu adalah dengan saling berinteraksi dan berkomunikasi secara terbuka dan dialogis baik secara informal maupun secara formal.
Baca Selengkapnya ...

Pengunjung

Pilgub Banten 2011

Pilgub Banten 2011

Kalender

Lawan Korupsi

Photobucket