H. Jazuli Juwaini, Lc. MA

.

Kamis, 30 Juli 2009

Suara Terbanyak dan Antisipasi Money Politics

Oleh:
H. Jazuli Juwaini, MA
Anggota Pansus Pemilu DPR RI dari Fraksi PKS

Pada 23 Desember 2008 yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapuskan sistem nomor urut dalam menentukan anggota legislatif terpilih seperti yang sebelumnya diatur dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR,DPD,dan DPRD. Dengan dihapusnya sistem nomor urut tersebut, MK menegaskan keberlakuan sistem suara terbanyak dalam penentuan calon terpilih pada Pemilu Legislatif 2009 dan Pemilu-Pemilu setelahnya.

Putusan MK tersebut mengubah kontestasi persaingan antar caleg di internal partai politik. Di satu sisi hal ini dinilai mengancam soliditas partai dan pada saat yang sama meningkatkan potensi konflik di dalam parpol. Namun di sisi yang lain, hal ini mencerminkan keadilan bagi setiap calon.



Mengingat Putusan MK bersifat final dan tidak ada upaya hukum lain, maka sikap yang paling tepat adalah melaksanakan secara konsekuen, menegaskan nilai positifnya, sambil mengantisipasi potensi negatit yang akan muncul.

Persaingan Makin ketat, Potensi Politik Uang Makin Tinggi
Secara postif, sistem suara terbanyak hasil Putusan MK dapat menegakkan keadilan baik bagi rakyat pemilih maupun bagi calon anggota legislatif (caleg). Dalam perspektif rakyat pemilih, suara terbanyak menjamin afirmasi suara mayoritas rakyat sebagai yang terpilih. Hal ini menegakkan prinsip demokrasi sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat.

Putusan MK memangkas kewenangan parpol untuk menentukan calon terpilih, dan pada saat yang sama mengembalikan kewenangan itu kepada rakyat. Parpol cukup memiliki kewenangan dalam menominasikan seseorang menjadi calon, dan di sinilah domain parpol, sementara penentuan calon terpilih adalah domain rakyat.

Bagi caleg, siapapun dia dan dalam posisi atau di nomor berapa pun, dia memiliki potensi yang sama untuk meraih kepercayaan rakyat sebagai anggota DPR/DPRD. Desain sistem ini positif karena kompetisi didasarkan pada prinsip keadilan. Selanjutnya tinggal diatur agar kompetisi berlangsung secara adil (fair). Hal ini penting agar semangat keadilan yang dijadikan basis argumentasi konstitusional sistem suara terbanyak tidak sia-sia. Apalagi paska putusan MK sudah muncul geliat persaingan yang mengkhwatiran di antara caleg. Hal yang harus dicermati serius adalah soal kecenderungan menguatnya politik uang (money politics).

Potensi money politics diprediksi kian besar karena politik pemilihan kita masih mendasarkan pada hal-hal yang bersifat pragmatis. Calon anggota legislatif belum sepenuhnya dilihat berdasarkan kualitas dan komitmennya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Caleg-nya sendiri acapkali memanfaat segala hal untuk meraih elektabilitas, termasuk dalam hal ini penggunaan uang sebagai alat untuk merayu pemilih.
Rakyat cukup diberi uang dalam jumlah tertentu untuk memilih sebuah nama. Semakin besar uang yang digelontorkan, kian besar pula meraih suara terbanyak. Dalam hal ini, suara terbanyak adalah uang terbanyak. Seorang aktivis parpol tetapi tak punya uang, ia akan tersisih oleh “muka baru” tetapi pundi-pundi kekayaannya sangatlah banyak.
Suara terbanyak belum tentu identik dengan kualitas politisi yang terpilih duduk di DPR/DPRD. Dari sisi sirkulasi elite, sistem suara terbanyak memang sangat baik, namun dari sisi kualitas belum tentu ini menjamin kualitas parlemen kita mendatang. Dalam rangka penguatan demokrasi, tentu saja kita berharap agar sistem suara terbanyak dapat mendorong rakyat untuk memilih pemimpin yang berkualitas.
Barangkali sisi-sisi negatif ini yang patut dicermati KPU maupun Bawaslu/Panwaslu sebagai penyelenggara Pemilu. Pengawasan harus diperketat, daya cium terhadap pelanggaran ditingkatkan, dan pada akhirnya sanksi patut ditegakkan. Setidaknya orang akan berpikir panjang untuk meraih suara sebanyak-banyaknya dengan cara tak patut.

Penyelenggara dan pengawas pemilu harus mengantisipasi dan dapat mencegah kemungkinan praktik jual-beli suara oleh para calon anggota legislatif yang merasa tidak populer. Sekadar antisipasi, belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya, tempat yang dinilai rawan terjadinya jual-beli suara adalah di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dimana caleg yang curang dimungkinkan dapat mengotak-atik hasil pemilihan dengan ‘membeli’ petugas pemilu di lapangan. Dalam hal ini peran pengawas, saksi parpol, pemantau pemilu, dan masyarakat perlu diberdayakan untuk selalu mendorong transparansi dalam proses pemilihan dan penghitungan suara.

Keputusan di Tangan Rakyat
Eesensi Putusan MK adalah menegakkan prinsip bahwa keputusan penting di negeri ini ada di tangan rakyat. Suara terbanyak yang dipilih rakyat secara otomatis akan menjadi wakil rakyat. Oleh karena itu upaya untuk meyakinkan rakyat agar memilih yang terbaik menjadi sangat penting. Kita berharap agar rakyat memberikan pilihan sesuai hati nurani dan mementingkan rekam jejak (track record) kualitas calon. Jangan memilih semata-mata karena popularitas, apalagi karena uang. Karena pilihan pada bulan April mendatang akan menentukan masa depan rakyat, minimal dalam lima tahun ke depan.

Dalam konteks tersebut, penerapan sistem suara terbanyak menuntut pendidikan politik publik yang lebih agresif dan penyediaan informasi yang lebih baik. Hal ini harus menjadi perhatian serius dari KPU selaku penyelenggara pemilu. KPU selama ini dikirik belum melakukan sosialisasi secara optimal. Paska Putusan MK, KPU harus segera menerbitkan aturan teknis pelaksanaan dan mendorong publik untuk memilih calon berdasarkan kualitas.

Pendidikan politik dan penyediaan informasi ini penting untuk menghindari terpilihnya caleg-caleg dengan kualitas seadanya. Dengan publik yang lebih terdidik dan memiliki informasi yang lebih banyak mengenai alternatif-alternatif yang tersedia dalam pemilu, pemilih akan membuat keputusan yang lebih baik dan bijak dalam menentukan pilihannya dalam pemilu mendatang.

Bagi para caleg, komitemen untuk tidak melakukan money politics harus menjadi kesadaran utama. Rasanya masih banyak cara lain dan legal untuk meraup suara rakyat itu. Jika seseorang punya rekam jejak bagus di mata rakyat, sekaligus punyak komitmen untuk memperbaiki nasib rakyat, agaknya punya peluang untuk meraup suara rakyat sebanyak-banyaknya. Sekarang tinggal mengkomunikasikan rekam jejak itu dan menegaskan komitmen kepada rakyat.

Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Diterapkannya sistem suara terbanyak tidak serta-merta membawa perubahan positif bagi demokrasi Indonesia. Potensi-potensi positif yang ada dalam penerapan sistem ini baru akan terealisasi jika penerapan sistem suara terbanyak ini diikuti kebijakan-kebijakan lain.

Pertama, parpol sebagai pelaksana fungsi rekrutmen elit ke depan harus serius menominasikan calon yang benar-benar berkualitas, memiliki rekam jejak yang positif, dan memiliki pengabdian kepada masyarakat lewat aktivitas yang selama ini mereka lakukan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sekaligus mengikis kecenderungan berlakunya praktik money politics dalam meraih dukungan pemilih.

Kedua, pendidikan politik harus terus-menerus dilakukan dalam rangka mendorong rakyat untuk memberikan pilihan politik yang lebih objektif dan rasional. Hal ini bukan saja menjadi tanggung jawab penyelenggara atau lembaga swadaya masyarakat, namun yang jauh lebih penting hal ini sebenarnya menjadi tanggung jawab partai politik. Dalam UU tentang Partai Politik jelas ditegaskan bahwa salah satu fungsi parpol adalah melakukan pendidikan politik.

Jika dua hal ini dilakukan secara serius dan konsisten, kita akan mendapati sistem suara terbanyak akan kondusif meningkatkan derajat demokrasi menjadi lebih baik, berkualitas, dan bertanggung jawab.

Comments :

0 komentar to “Suara Terbanyak dan Antisipasi Money Politics”