Rabu, 26 Agustus 2009
DPR RI Respon Kasus Lahan Lagoi
http://kepritoday.com
Sabtu, 5 Juli 2008 | 10:10:51
TANJUNGPINANG - Meski persoalan kasus ganti rugi tanah di Lagoi terjadi pada awal 1990-an, tapi persoalan sengketa tanah yang kini menjadi kawasan industri pariwisata bertaraf internasional itu masih meninggalkan persoalan.
Karena berlarut-larutnya persoalan tersebut, sengketa itu masuk ke DPR RI. Kemarin untuk mencari masukan dan mengumpulkan berbagai informasi sehubungan dengan menyelesaikan kasus sengketa lahan di Lagoi tersebut, Tim Pertanahan Lagoi dari Komisi II DPR RI bersama Pemprov Kepri dan Pemkab Bintan serta perwakilan masyarakat 10 Desa di Lagoi berdialog di aula Kantor Gubernur Kepri, kemarin.
Dialog dipimpin Ketua Tim Pertanahan Lagoi-Bintan dari Komisi II DPR RI, H Jazuli Juwaini Lc, dihadiri Wakil Gubernur Kepri, H Muhammad Sani, Bupati Bintan, H Ansar Ahmad, Asisten I Setdaprov Kepri Bidang Pemerintahan dan Tatapraja, H Tengku Muchtaruddin, Ferry Mursyidan Baldan, Danrem 033/WP Kepri, Kolonel ARH Mardimin, BPN Kepri dan instansi terkait lain.
Ketua Tim Pertanahan Lagoi-Bintan dari Komisi II DPR RI H Jazuli Juwaini Lc sebelum pertemuan memaparkan bahwa Pemda dan BPN Kepri agar cepat diselesaikan.
”Pertama klasifikasikan tanahnya dan kedua klasifikasikan jenis sertifikatnya. Hal ini perlu dilakukan BPN. Berikutnya perlu dilakukan pertemuan lebih lanjut. Mungkin kita undang gubernur dan bupati. Dalam menyelesikan sengketa ini kita bersikap objektif,” kata Jazuli, anggota Komisi II DPR-RI bidang Pemerintahan dalam negeri dan Otda, aparatur negara, agraria dan komisi pemilihan umum (KPU) itu.
Kedatangan Komisi II ke Kepri, jelas Jazuli dilakukan dalam upaya menyelesaikan sengketa lahan sengketa Lagoi. Ia membantah kedatangan Komisi II ke Bintan dan Kepri sehubungan dengan kasus alih fungsi hutan.
”Kita datang untuk merespon bapak-bapak (masyarakat 10 desa) yang merasa teraniaya sehubungan dengan kasus sengketa lahan di Lagoi. Bukan mengenai alih fungsi hutan. Kalau mengenai alih fungsi hutan yang menangani itu Komisi IV DPR-RI,” jelas Jazuli.
Warga 10 Desa Mengadu ke DPR-RI
Sementara itu, utusan masyarakat 10 desa Lagoi melalui Ketua Umum Yayasan Tragedi Lagoi, Ignatius Toka Soli dalam pertemuan kemarin mengatakan, hingga kini, masih banyak masyarakat 10 desa di Lagoi tak pernah menerima pembebasan lahan milik mereka yang dijadikan lahan buat kawasan wisata Lagoi dan kawasan industri Lobam, milik Salim Group.
”Warga sangat dirugikan. Berbagai upaya telah dilakukan. Kita mohon, anggota Komisi II DPR-RI bisa mencarikan solusi terbaik,’’ujar Ignatius, kemarin.
Pada dasarnya, warga setuju lahan mereka dibebaskan. Namun, warga menilai ganti rugi yang diberikan pihak Salim Group kala itu tak sesuai realisasi di lapangan. Ia mengaku pernah bertemu dengan calon investor dan menanyakan harga pembebasan lahan mereka.
”Pihak Salim Group menaksir pembebasan lahan warga sekitar Rp150 permeter, sedang pada calon investor, Salim Group menjual sekitar Rp2 dolar Singapura per meter,’’ jelasnya.
Aktifitas pembebasan lahan di lapangan, melibatkan tim 9 yang dibentuk pemerintah. Tim inilah katanya secara aktif turun ke tengah lapisan warga. Belakangan, di lapangan terjadi hal tak diinginkan, yakni ada tanah yang disudah diukur dan sudah dibayar dan belum dibayar sampai sekarang serta ada juga tanah belum diukur tapi bagunan sudah berdiri. ”Termasuk dilahan yang ditempati Kawasan Industri BIIE sekarang, lokasi Pujasera Lagoi dan DAM air bersih di Lagoi. Jumlahnya sekitar 17 ribu hektare,’’ bebernya.
Ketua Tim Pertanahan Lagoi-Bintan Komisi II DPR-RI, Jazuli Juwaini minta Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau segera menyelesaikan permasalahan. DPR-RI mengakui, keberadaan investor sangat penting. Untuk menarik satu-dua investor saja katanya sangat sulit. Karena itu, investor yang sudah ada, harus dipertahankan. Caranya, antara lain menghormati hak dan kewajiban mereka.
”Sebaliknya, pemerintah daerah harus paham juga. Hak masyarakat yang seharusnya di bela, pemerintah daerah harus memperjuangkan. Jangan dibiarkan rakyat berjuang sendiri,’’ujar Jazuli Juwaini. (zek/amr)
Senin, 24 Agustus 2009
PPP Mempersilakan, PKS Mengingatkan
Koran Tempo, Jum’at, 21 Agustus 2009
Rubrik Berita Utama, Hal : 2
JAKARTA - Reaksi berbeda di-sampaikan partai-partai pendukung Susilo Bambang Yudhoyono alasan kemungkinan masuknya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ke dalam koalisi. Ada partai yang mempersilakan, ada pula yang menganggap langkah Partai Demokrat mendekati kubu Megawati Soekarno-putri itu tindakan tak etis.
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Chozin Churaaedy mengatakan partainya mempersilahkan jika Partai Demokrat ingin menggandeng PDI Perjuangan. "Tidak masalah," katanya di gedung DPR kemarin.
Namun, kata Chozin, meski nantinya PDI Perjuangan bergabung dalam koalisi, ia raengingatkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap memperhatikan partai-partai peserta koalisi. "Yang penting, koalisi yang ada tetap di kabinet," kata Chozin.
la menilai, jika benar terjadi, masuknya PDI Perjuangan ke kabinet bukan berarti mekanisme checks and balances dalam demokrasi tak berlaku. "Bukan berarti tidak kritis."
Sikap berbeda disampaikan Partai Keadilan Sejahtera.
Mereka mengingatkan agar Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat tidak "main mata" dengan PDI Perjuangan. Menarik PDI Perjuangan ke dalam koalisi dinilai sebagai langkah tak etis.
"Secara aturan main, itu sah," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera Jazuli Juwaini. "Tapi beliau harus menghargai mitra koalisi yang telah berjuang."
Jazuli mengatakan, pemerintahan memang perlu dibangun secara bersama-sama, namun kebersamaan tak boleh meninggalkan etika. "Kebersamaan atas dasar etika," kata Jazuli.
PDI Perjuangan, Jazuli melanjutkan, akan lebih baik jika tetap menjalankan perannya sebagai oposisi. Dengan begitu, prinsip checks and balances bisa tetap dilakukan secara efektif. "Oposisi lebih manis untuk PDI Perjuangan dan konstituennya," katanya
la rnembantah anggap bahwa partainya takut kehilangan jatah kursi di kabinet jika PDI Perjuangan masuk koalisi. "Sejak awal, jika mendukung SBY karena tahu yang terbaik, bukan karena kursi," kata Jazuli. • DWIRIYANTOAGUS
Jumat, 21 Agustus 2009
Pilkada Sulit Digabung
Harian Suara Pembaruan
Kamis, 20 Agustus 2009
Halaman Utama
[JAKARTA] Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berbeda pendapat soal usul Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar hari pemilihan umum kepala daerah (pilkada) digabung, sehingga pemilihan umum (pemilu) cukup dilaksanakan tiga kali saja dalam lima tahun, yaitu pemilu presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg), dan pilkada.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) Maruarar Sirait mengatakan, tidak mudah untuk menggabungkan hari pilkada. Sebab, penggabungan itu akan terbentur pada masa kerja para kepala daerah yang berbeda.
Ada gubernur, bupati, dan wali kota yang masa kerjanya berakhir pada 2010. Ada pula yang 2011 dan 2013, sehingga pilkada tentu baru dilakukan berdasarkan berakhirnya masa tugas mereka. "Untuk menyatukan periode tersebut jelas tak mudah dan memiliki banyak konsekuensi hukum, politik, dan sosial," kata Maruarar kepada SP di Jakarta, Rabu (19/8).
Usul menggabungkan pilkada itu disampaikan Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita saat pidato pada Rapat Paripurna Khusus DPD dalam rangka pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Daerah, kemarin. Menurut Ginandjar, pemilu yang terlalu sering digelar cukup menelan biaya, energi masyarakat, dan menimbulkan kejenuhan.
Menanggapi itu, Maruarar berpendapat, jika ada keinginan menggabungkan pilkada, selain harus dikaji secara mendalam, juga perlu mendengar aspirasi rakyat di daerah. Dengan demikian, aspek-aspek sosial dan politik dapat diakomodasi dengan baik.
Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FKB) Ida Fauziah mengatakan, perlu ada pengkajian secara mendalam tentang konsep tersebut. Dalam pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32/2003 tentang Pemerintahan Daerah yang sedang berlangsung di DPR, ujarnya, semangat menggabungkan hari pilkada sudah ada.
"Semangat itu didasarkan pada keinginan agar pilkada bisa serentak di Indonesia, terjadi efisiensi anggaran, dan mengatasi kejenuhan politik. Pilkada yang terlalu sering telah membuat rakyat jenuh dan itu berdampak pada kualitas," katanya.
Usul Golkar
Ferry Mursyidan Baldan dari Fraksi Partai Golkar (FPG) mengatakan, usul agar pemilu dilaksanakan tiga kali saja dalam lima tahun merupakan usul partainya sejak lama. Karena itu, FPG mendukung sepenuhnya konsep ini. "Hanya saja, yang perlu diatur adalah soal bagaimana mensinkronisasikan masa kerja para kepala daerah yang sudah berjalan sehingga tak ada yang dirugikan," ujarnya.
Menurut Ferry, konsep ini secara keseluruhan kemungkinan baru bisa diterapkan setelah 2014. Namun, persiapan itu sudah harus dimulai sejak sekarang. Misalnya, untuk masa transisi bisa diawali dengan pilkada dua kali saja dalam lima tahun.
Para kepala daerah yang masa periodenya sama atau berdekatan bisa diatur, sehingga waktu pelaksanaan pilkada bisa serentak. "Ini semua yang masih harus disinkronisasikan dan perlu ada revisi UU Pilkada dan UU terkait lainnya," katanya.
Chosin Gumaidi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) mengatakan, fraksinya mendukung sepenuhnya konsep pemilu tiga kali dalam lima tahun. Hal itu demi efisiensi anggaran, mengurangi konflik sosial, dan mengatasi kejenuhan dalam masyarakat. Selain itu, program pemerintah pusat dan daerah bisa berjalan secara simultan.
PPP, kata Chosin, malah ingin mengusulkan agar dilaksanakan dua kali pemilu saja dalam lima tahun, yaitu pilpres bersamaan dengan pilkada dan pemilu legislatif. "Pemilu yang berulang-ulang akan menelan anggaran yang sangat besar dan kita menjadi sulit membangun aspek-aspek lain yang lebih penting, seperti mengatasi kemiskinan dan pengangguran," ujarnya.
Jazuli Juaeni dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) mengatakan, aspek sosial dan politik harus dipikirkan secara matang. Sehingga, jangan sampai penggabungan hari pelaksanaan pilkada bisa menimbulkan masalah sosial baru di masyarakat. [J-11]
Kamis, 20 Agustus 2009
Reformasi Birokrasi Selesai 2011
Harian Kompas
Kamis, 20 Agustus 2009
Rubrik Pemerintahan
Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, program reformasi birokrasi telah dan sedang dilaksanakan secara bertahap. Program itu dapat diselesaikan untuk keseluruhan kementerian dan lembaga pada tahun 2011.
Secara bersama dan bertahap, reformasi di tingkat pemerintahan daerah juga harus mulai dilakukan dengan terencana, terorganisasi, dan berkesinambungan.
Hal itu disampaikan Presiden Yudhoyono dalam pidato kenegaraan mengenai pembangunan nasional dalam perspektif daerah di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah pada Rabu (19/8).
Menurut Yudhoyono, pembenahan birokrasi merupakan proses yang berkesinambungan dan menyeluruh karena menyangkut perubahan sikap dan tingkah laku seluruh jajaran aparat pemerintah, dari tingkat paling tinggi hingga tingkat pelaksana.
Perubahan tidak hanya menyangkut struktur organisasi, tetapi juga menyangkut cara kerja, disiplin, dan komitmen pada kinerja, serta terbangunnya sistem insentif dan hukuman yang adil dan setara.
Yudhoyono menyebutkan, sesungguhnya pemberian peran, kewenangan, dan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah adalah untuk melayani rakyat lebih baik, mudah, cepat, dan murah. Prinsip pemerintahan adalah ”segalanya untuk rakyat”.
Agar pelayanan prima kepada masyarakat dapat diwujudkan, diperlukan program reformasi birokrasi guna menghadirkan tata kelola pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih.
Pembangunan bagi semua
Presiden juga menegaskan bahwa negara harus memastikan tidak ada kelompok-kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan.
”Berbicara pembangunan, sering muncul pertanyaan, untuk siapakah pembangunan yang kita lakukan? Apakah pembangunan untuk manusia atau manusia untuk pembangunan? Apakah pembangunan hanya untuk sekelompok tertentu saja? Untuk menjawab pertanyaan itu, pidato hari ini saya beri tema ’Pembangunan untuk Semua’,” ujarnya.
”Pembangunan untuk Semua” hanya dapat dilakukan dengan menerapkan enam strategi dasar pembangunan. Keenam strategi itu antara lain pertama, strategi pembangunan inklusif yang menjamin pemerataan keadilan serta mampu menghormati dan menjaga keberagaman rakyat Indonesia.
Strategi berikutnya adalah pembangunan untuk semua harus berdimensi kewilayahan yang berarti pemerintah terus mendorong setiap daerah untuk mengembangkan keunggulan komparatif dan kompetitif.
”Strategi ketiga adalah menciptakan integrasi ekonomi nasional di era globalisasi. Adapun strategi keempat, yang juga kunci dari keberhasilan pembangunan untuk semua, yaitu pengembangan ekonomi lokal di setiap daerah guna membangun ekonomi domestik yang kuat secara nasional,” kata Presiden.
Strategi kelima, keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan.
”Strategi ini merupakan koreksi atas kebijakan pembangunan terdahulu, yang dikenal dengan trickle down effect. Strategi itu mengasumsikan perlunya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan pemerataan. Dalam kenyataannya di banyak negara, termasuk di Indonesia, teori ini gagal menciptakan kemakmuran untuk semua,” tutur Presiden.
Prasyarat kunci
Yudhoyono mengatakan, keberhasilan paradigma pembangunan untuk semua itu memerlukan sejumlah prasyarat. Selain perbaikan kemakmuran dan kualitas hidup rakyat secara merata, juga sangat ditentukan oleh tersedianya dan dibangunnya berbagai infrastruktur mendasar.
Lima kunci kesuksesan yang disodorkan adalah strategi dan program yang inklusif merata dan berkeadilan.
Selain itu, kebersamaan dan sinergi positif di antara semua komponen bangsa. Kunci sukses ketiga adalah pembangunan yang mendapat dukungan luas dari masyarakat.
Prasyarat lain adalah integritas dan etika profesionalisme para pemimpin dan pelaku pembangunan. Kunci sukses terakhir adalah lingkungan dalam negeri yang kondusif
Tagih janji
Menanggapi pidato Yudhoyono, pakar kebijakan publik Universitas Indonesia, Andrinof A Chaniago, menyebutkan, janji reformasi birokrasi termasuk yang paling sering dikemukakan. Janji itu akan diingat dan akan ditagih banyak orang kalau kembali gagal diwujudkan.
Tanpa kejelasan agenda aksi yang logis dan empiris, janji reformasi akan tetap menjadi ”pepesan kosong”.
Selama janji reformasi birokrasi tidak pernah tegas menyebut agenda aksi untuk mengubah sistem perekrutan calon pegawai negeri sipil, sistem promosi dan mutasi pegawai, dan rasionalisasi organisasi birokrasi, selama itu pula janji reformasi sulit terwujud.
Secara terpisah, anggota Komisi II DPR, Jazuli Juwaini, pun berpendapat, janji reformasi birokrasi dari Presiden bisa membuat tersenyum dengan perasaan berbunga. Ironisnya, kata Jazuli, belum terlihat konsep pemerintah yang riil yang secara gradual dan pasti terkait reformasi birokrasi itu.
Semestinya, kata Jazuli, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara membuat konsep reformasi birokrasi secara komprehensif dan dikoordinasikan dengan departemen lain.
Yang terlihat selama ini barulah soal perbaikan gaji dan tunjangan di Departemen Keuangan dan beberapa lembaga negara lain. ”Kalau reformasi birokrasi hanya diidentikkan dengan remunerasi, akan timbul kecemburuan antardepartemen,” sebut Jazuli. (DIK/HAR)
Rabu, 19 Agustus 2009
KPU Usulkan Gubernur Dipilih DPRD
Harian Seputar Indonesia, Sabtu, 15 Agustus 2009
JAKARTA (SI) - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary mengusulkan, pe-milihan gubernur dan wakil gubernur secara langsung oleb rakyat hendaknya ditiadakan. Hafiz berpendapat hendaknya pemilihan gubernur dan wakil gubernur kem-bali pada aturan semula, yakni dilakukan oleb Angguta DPRD Provinsi yang di dalamnya juga berasal dari partai-partai politik. "Itu (gubernur dan wakil gubernur tidak dipilih langsung oleh rakyat) pendapat saya, jadi saya berpendapat mungkin untuk gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan sebagai kepala daerah, cukup dipilih oleh DPRD saja. Salah satunya untuk mengurangi biaya," jelas Hafiz di Gedung KPU kemarin.
Dia mengatakan, usulan tersebut tidak lepas karena gubernur hanya bersifat administratif. Dia mengungkapkan, dengan tidak dipilih secaralangsung olehrakyat, gubernur dapat lebih berkonsentrasi pada tugasnya. Kemudian, DPRD provinsi adalah pilihan rak¬yat. Sehingga, bisa DPRD provinsi dapat memilih gubernur. Dia mem-bedakan dengan bupati atau wait kota. Hafiz mengatakan, untuk bupati dan wali kota memang masih perlu dipilih langsung oleh rakyat. Sebab,kabupaten atau kota bersifat otonom. Hanya, usulan ter-sebut perlu didahului dengan adanya revisi UU 32/2004 tentang Pe-merintahan Daerah. Sebab, dalam UU Pemda tersebut masih diatur pemilihan gubernur dan wakil gubernur secara langsung.
Dalam waktu dekat, sambung Hafiz, direncanakan ada pertemu-an dengan Departemen Dalam Negeri untuk membahas revisi UU 32/2004 tersebut. Sebenarnya, sambung Hafiz, bukan hanya evaluasi UU 32/2004, dia juga mengusulkan agar ada perbaikan terhadap undang-undang pemilu. Selama ini, undang-undang pemilu itu mengalami perbaikan di tengah jalan dan ada interpretasi-interpretasi dalam pelaksanaannya.
Anggota Komisi II DPR Jazuli Juwaini mengomentari dua hal pada usulan yang dilemparkan Ketua KPU tersebut. Pertama, dia mengkritisi mengapa KPU mudah melempar wacana. Menurutnya, KPU tinggal menjalankan UU dan menjalankan tugasnya. "Calon legislatif DPR saja belum selesai kan, masa melempar wacana lagi," jelasnya.
Namun demikian, KPU memang berhak untuk mengeluarkan usulan. Dia mengatakan, terkait usulan tersebut, di komisi II memang masih membahas dua ke-mungkinan. Pertama, apakah gu¬bernur yang dipilih langsung dan bupati atau wali kota yang dipilih DPRD. Kemungkinan kedua adalah memilih bupati atau wali kota secara langsung dan gubernur dipilih DPRD. "Tinggal bagaimana nanti letak otonominya, di provinsi atau di kabupaten dan kota," jelasnya.(kholil)
Jumat, 07 Agustus 2009
OPINI
1.Minta Tambahan Anggaran Melulu : KPU Seperti Anak Kecil
2.Selamat Datang Undang-Undang Pelayanan Publik
3.Menjadikan Pemilu Bermakna
4.Mempercepat Agenda Reformasi Birokrasi
5.Indikator Sukses Pembangunan Kota (Baru) Tangsel)
6.Suara Terbanyak dan Antisipasi Money Politics
7.Jaminan Kualitas Pelayanan Publik
8.Perlu Prioritas Anggaran
9.Etika Birokrasi