JAKARTA - Kerusuhan berbau SARA yang terjadi berurutan di Pandeglang, Banten (6/2) dan Temanggung, Jawa Tengah (8/2) diduga dilakukan secara sistematis. Massa yang melakukan aksi anarkis dilaporkan sudah terkoordinasi dan mempunyai komando di lapangan. Polisi telah mengantongi sejumlah nama yang diduga sebagai aktor penggerak kerusuhan.
"Dari analisa sementara di lapangan, aksi itu memang terorganisir, massa datang dari luar Temanggung," kata Kadivhumas Polri Irjen Anton Bachrul Alam kemarin (9/2). Mereka masuk Temanggung dengan menggunakan kendaraan pribadi dan bus dengan jumlah yang besar. "Mereka bergabung dengan kelompok lokal yang memang sering memantau persidangan," tambahnya.
Saat ini, polisi telah mengamankan sejumlah orang yang diduga sebagai" pelaku lapangan. Kedelapan tersangka itu MHY, SJ, AS, NY, SF, AK, AZ, SM. Mereka dijerat dengan pasal 170 KUHP ancaman maksimal penjara 5 tahun. "Kita masih menunggu pengembangan penyidikan di lapangan," kata jenderal bintang dua itu saat ditanya apakah dalangnya sudah tertangkap.
Kabidpenum Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar menambahkan, polisi sekarang sudah mengantongi nama-nama pelaku kerusuhan di Temanggung dan Cikesik. "Dari keterangan yang sudah ditahan ada nama-nama. Ini juga dibarengi dengan bukti," katanya.
Barang bukti di antaranya, senjata tajam, benda tumpul, dan juga rekaman SMS yang berisi hasutan dan ajakan. "Termasuk yang di Temanggung itu ada semacam pesan berantai dari kelompok tertentu. Ada komando dan pergerakan dari dua kelompok," katanya menolak menyebut nama kelompok yang dituding.
Polisi berhasil menemukan modus-modus sebelum dan pasca penyerangan di Cikesik maupun di Temanggung. "Kami berharap, pihak-pihak yang terkait dengan kerusuhan ini secara sukarela menyerahkan diri," kata mantan anggota Densus 88 itu.
Secara terpisah, sumber Jawa Pos di lingkungan Mabes Polri menyebut saat ini Kabaintelkam Komjen Wahyono dan jajarannya melakukan rapat intensif dengan jajaran Polda Jateng di sebuah lokasi di Jawa Tengah. Tim ini mendapat tugas langsung dari Kapolri. "Kita mau jemput tokoh," katanya.
Siapa? Perwira itu menyebut nama namun tak bersedia jika ditulis di media. "Besok (hari ini) siang, mungkin sudah diumumkan secara resmi. Itu kalau belum datang baik-baik," katanya.
Tokoh inilah yang diduga kuat sebagai penyandang dana sekaligus penggerak massa dari luar Temanggung. "Dia sponsornya, yang sediakan logistik juga transportasi," jelas sumber ini."
Di bagian lain, untuk mengantisipasi aksi lanjutan, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto meminta aparat penegak hukum untuk bertindak lebih tegas. Termasuk tembak di tempat jika memang diperlukan.
Pernyataan ini disampaikan Djoko seusai rapat koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Jaksa Agung Basrif Arief, Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo, dan Kepada Badan Intelijen Negara Sutanto.
Menurut Djoko, polisi bisa melakukan tindakan tembak di tempat bila perusuh sudah membahayakan nyawa orang lain. "Kalau memang diperlukan dan membahayakan nyawa orang lain, kan ada beberapa tahapan tembak di tempat, seperti dilumpuhkan dulu," kata Djoko dalam konferensi pers di kantornya kemarin.
Melumpuhkan perusuh atau pelaku kekerasan dengan lakukan tembak di tempat, kata Djoko, merupakan teknis tindakan tegas di lapangan. Tindakan tegas itu, kata dia, harus dilakukan kalau memang diperlukan. "Jangan berarti tembak di tempat itu diartikan melanggar HAM," kata dia. Sebab, jika itu dipersoalkan, yang juga harus diingat juga adalah bagaimana hak asasi manusia mereka yang akan dibunuh.
Dalam rapat koordinasi itu, Djoko menyatakan bahwa Jenderal Timur sempat mengaku ada dilema dari anggotanya yang bertugas di lapangan. Karena itu, Djoko menegaskan bahwa TNI dan polisi harus melakukan tindakan tegas yang terukur sesuai dengan kadar tindakan pelaku pidana. "Dengan prioritas sasaran yang tepat sehingga tidak menimbulkan korban yang tidak tepat,"katanya.
Sementara itu, tadi malam, Komisi VIII DPR mengundang Kapolri Jenderal Timur Pradopo dan Menteri Agama Suryadarma Ali. Para wakil rakyat itu merasa gemas karena kejadian di Cikeusik dan Temanggung berlangsung hanya dalam selang waktu dua hari.
"Saya berharap Kapolri dan Menteri Agama berjanji agar tidak ada kejadian serupa lagi di Indonesia ini," kata Ketua Komisi VIII Abdul Kadir Karding yang memimpin rapat. Menurut Karding, kekerasan yang berpola dan menggunakan sentimen agama membuat masyarakat takut beraktivitas. "Akibatnya ekonomi bias lumpuh," katanya.
Anggota Komisi VIII dari PKS Jazuli Juwaini juga mencecar Kapolri dengan pertanyaan yang tajam. "Apa benar ada dalang di kerusuhan itu - Kalau benar, coba jelaskan seterang-terangnya agar masyarakat tidak bingung," katanya. Politisi asal Tangerang itu menilai provokator berhasil masuk dan mencemarkan nama agama Islam. "Jelas bukan orang Islam, karena Islam agama damai," katanya.
Kapolri yang datang dengan menggunakan baju dinas tampak kelelahan. Maklum, seharian kemarin Kapolri datang di tiga tempat untuk membahas kasus ini. Yakni, melapor ke Istana Wapres, rapat di Menkopolhukam dan malamnya menghadiri panggilan DPR.
"Kita yakin pelaku-pelaku yang sudah kita identifikasi akan segera tertangkap. Ini oknum pak, bukan mewakili agama," kata mantan Kapolda Metro Jaya itu. Dia juga memaparkan data hasil investigasi sementara di lapangan. "Untuk kasus Cikesik sebenarnya sudah ada antisipasi," katanya.
Pihak Polres Pandeglang telah mempersiapkan anggota yang dipimpin Kapolsek dan Kasat Samapta untuk mengamankan lokasi tersebut, dan berupaya untuk mengevakuasi warga Ahmadiyah. Namun, mereka menolak dan menentang, serta beralasan rumah tersebut bukan milik saudara Ismail Suparman, tapi merupakan inventaris milik Jemaah Ahmadiyah, dan harus dipertahankan.
Situasi semakin tidak terkendali ketika anggota Ahmadiyah dari Jakarta, Deden keluar dan bersikeras untuk bertahan di rumah tersebut, dan menolak untuk dievakuasi. "Saudara Deden juga mengeluarkan kata-kata yang bernada menantang masyarakat, sehingga menyulut emosi massa dan terjadi baku lempar dan penyerangan oleh warga masyarakat. Mengingat jumlah massa yang cukup banyak, sehingga situasi tidak terkendali dan jatuh korban jiwa dari pihak pengikut Ahmadiyah," katanya.
Sedangkan untuk kasus Temanggung, Kapolri menyebut itu merupakan rentetan dari persidangan yang sebenarnya sudah sejak 20 Januari 2011. "Setiap persidangan kita turunkan aparat dalam jumlah cukup," katanya.
Namun, kata Timur, khusus untuk kejadian yang terakhir, ada massa dalam jumlah yang lebih banyak dari luar Temanggung. "Jadi, memang benar ada penggeraknya. Itu yang sedang jkita dalami dan segera kita proses," katanya.(rdl)
Media : www.jpnn.com
Edisi : Kamis, 10 Februari 2011
Rubrik : Nasional - Hukum
Selengkapnya...