JAKARTA,BE—UU Nomor l/PNPS/1965 Tentang Penodaan dan atau Penistaan Agama dinyatakan tetap berlaku dan tidak bcrtentangan dengan konstitusi. Itu adalah hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan siang kemarin (19/4) di Gedung MK.
"Dalil-dalil Pemohon, baik dalam permohonan pengujian formil maupun permohonan pengujian materiil, tidak beralasan hukum. (MK) Menyatakan menolak permohonan para pcmohon untuk seluruhnya," seru ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD saat mcmbacakan amar putusan sidang.
Sontak putusan yang dibacakan hingga petang kemarin (19/4) mendapat sambutan dari beberapa anggota organisasi-organisasi keagamaan yang sejak siang memadati Gedung MK. Mereka dengan semangat menggemakan takbir di Sana, Meniang, mereka adalah kelompok-kelompok yang mendukung agar UU PNPS bisa terus digunakan.
Dalam sidang putusan kemarin sembilan hakim membacakan surat putusan setebal 322 halaman itu secara bergantian. Dalam beberapa poin pertimbangan, MK menyatakan UU PNPS tersebut masih dirasa perlu penggunaannya. Meski merupakan hasil produk era demokrasi terpimpin pada 1965, aturan tersebut dirasa bisa bergnna untuk meredam perpecahan dan terjadinya konflik berlatar belakang agama dan keyakinan di masyarakat.
Salah satu yang dalil pihak pemohon adalah menyatakan bahwa UU Pencegahan Penodaan Agama diskriminatif karena hanya membatasi pengakuan terhadap enam agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu, menurut Mahkamah adalah tidak benar.
Menurut sembilan hakim konstitusi itu, UU Pencegahan Penodaan Agama tidak membatasi pcrlindiungan hanya terhadap enam agama itu saja. Sebab, sebagaimana telah tercantum dalam penjelasan umum UU Pencegahan Penodaan Agama yang menyatakan, "Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam
peraturan ini atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Nah, sedangkan kekhawatiran beberapa pihak bahwa undang-undang ini bisa membatasi pemikiran dan penafsiran terhadap suatu ajaran tertentu, dan itu merupakan kebebasan bcrpikir setiap orang, MK punya pertimbangan lain.
Menurut MK, UU tersebut tidak melarang seseorang untuk melakukan penafsiran terhadap suatu ajaran agama ataupun melakukan kegiatan keagamaan yang menyenipai suatu agama yang ada. Tapi yang dilarang adalah dengan sengaja di muka umum menceritakan, mcnganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia. "Sedangkan penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu," ucap salah satu hakim anggota Muhammad Alim sambil membaca putusan.
Kritik dan Apresiasi
Menanggapi tidak dikabulkannya permohonan pihaknya, Direktur LBH Jakarta Nurkholis mengatakan bahwa keputusan ini merupakan sebuah kemunduran demokrasi. Pria yang juga menjadi kuasa hukum pemohon ini mengkritik argumentasi MK. Menurutnya, di sisi MK mengakui adanya forum internum, bahwa keyakinan adalah hak privat seseorang. Namun di sisi lain, dikatakan pemerintah berkewajiban mengarahkan atau membina para penghayat kepercayaan di luar agama mainstream kepada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. "Ini inkonsistensi,"katanya kepada wartawan seusai sidang.
Sebaliknya, putusan MK mendapatkan apresiasi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI. "MK memahami pentingnya UU ini dalam rangka mewujudkan kehidupan beragama yang harmonis dalam kerangka NKRI," kata Jazuli Juwaini, anggota Komisi Agama FPKS DPR RI. Jazuli berargumen bahwa UU No. I/ PNPS/I995 penting keberadaannya karena dua alasan.
Pertama, untuk menjamin kebebasan beragama sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 28E dan Pasal 29 Ayat (2). Orang bebas beragama, oleh karenanya harus ada larangan bagi setiap orang untuk melakukan penodaan agama atas nama apapun, termasuk atas nama kebebasan itu sendiri. Kedua, UU Penodaan Agama penting untuk mencegah potensi konflik sosial yang bersumber dari penafsiran agama. Konflik sosial ini dapat dicegah karena ada UU yang mengatur dan ada penegak hukum (pemerintah dan aparat) yang menegakkan UU tersebut, sehingga menutup celah 'pengadilan' oleh masyarakat. Dengan adanya instrumen hukum yang mengatur, menurut'anggota DPR Dapil Kab/Kota Tangerang ini, akan ada kepastian hukum jika ada kasus-kasus penodaan agama. "Masyarakat akan lebih mengedepankan penegakan hukum ketimbang main hakim scndiri. Sehingga harmonisasi kehidupan beragama lebih terjamin," tegas Jazuii.(kuh/jpnn/ikhsan tamara)
Media : Harian Banten Ekspres
Edisi : Selasa, 20 April 2010
Rubrik : Headline, Hal : I