RMOL. Pemerintah dan DPR tidak boleh menutup mata terhadap berbagai evaluasi dan koreksi penerapan otonomi daerah.
Soalnya, belum semua daerah mampu mengoptimalkan potensi ekonomi dan pelayanan publiknya secara mandiri.
“Dulu pelayanan publik tersendat dan lama, itu masih wajar. Sebab, harus ke pusat. Tapi saat ini kan jalur birokrasinya sudah pendek. Kenapa sejumlah daerah belum maksimal menerapkannya. Inilah yang harus kita perbaiki di tingkat sistem maupun implementasi,” ujar anggota DPR Fraksi PKS, Jazuli Juwaini kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Berikut kutipan selengkapnya:
Anda baru saja menerima penghargaan dari Universitas Kyoto dalam ajang “The 6th Indonesian Political Watch” sekaligus menjadi pembicara utama, bisa diceritakan?
Ya, penghargaan itu diberikan Kyoto University, Jepang. Ini merupakan ajang tahunan yang diselenggarakan para akademisi Jepang dalam bidang otonomi daerah.
Penghargaan ini diberikan kepada tokoh Indonesia yang dinilai memiliki concern dalam bidang otonomi daerah. Untuk tahun ini, Alhamdulillah saya diberi amanah mendapatkan penghargaan tersebut.
Saya pernah duduk di Komisi II DPR dan cukup concern dalam bidang otonomi daerah. Saya juga menulis buku yang mengupas tuntas soal otonomi daerah, berjudul: Otonomi Sepenuh Hati. Ini antara lain kriteria pemberian penghargaan itu kepada saya.
Anda memberikan ceramah umum kepada para profesor, pakar otonomi, serta pejabat-pejabat Jepang, apa yang disampaikan?
Saya memberikan ceramah tentang Implementation of Regional Autonomy in Indonesia. Di makalah itu, saya memaparkan tentang konsep dan pengalaman Indonesia dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Bagi para akademisi dan pejabat Jepang, pengalaman Indonesia dalam menerapkan otonomi daerah dianggap sangat berharga dan merupakan pembelajaran penting.
Saya juga menyampaikan, pelaksanaan otonomi di Indonesia telah menghasilkan capaian-capaian penting. Pemerintah daerah tertuntut untuk inovatif dan kreatif dalam menggali potensi daerahnya. Secara politis, ajang Pemilukada juga mendorong pembelajaran transparansi politik dan latihan kepemimpinan masyarakat lokal.
Apa saja catatan evaluasi Anda tentang pelaksanaan otonomi daerah?
Ada beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur sukses tidaknya pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, indikator ekonomi. Apakah sistem otonomi daerah telah membuat daerah tersebut mampu meningkatkan Pendapatan Perkapita dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kedua, kemandirian. Inilah yang sering salah kaprah. Selama ini, kemandirian yang dimaksud hanya dipahami dalam konteks kemandirian finansial dan dukungan administrasi pemerintahan. Padahal, kemandirian dalam Otda mencakup tiga hal, yakni mandiri dalam menyelesaikan masalah sendiri, mandiri untuk berinisiatif, dan mandiri dalam memanfaat potensi sumber daya setempat.
Ketiga, organisasi dan manajemen. Keempat, pelayanan publik. Kelima, good local governance, dan masih ada beberapa indikator yang lain.
Apa hal menarik yang Anda temukan selama proses penerimaan penghargaan di Jepang?
Salah satu profesor di sana bilang, kalau mereka kaget karena sosok yang dikenal religius (ulama atau kiai di Banten, red), ternyata sangat menguasai tema dan persoalan pemerintahan, otonomi daerah.
Saya bilang kepada mereka, di Indonesia, semua elemen masyarakat dituntut untuk bisa memberikan kontribusinya bagi pembangunan bangsa. Jika ada masalah, yang dituntut bukan hanya aparatur pemerintah untuk membenahi, tapi juga masyarakat. Itulah yang membuat saya terdorong untuk terjun ke politik dan menjadi anggota DPR.
Sebagai anggota DPR daerah pemilihan Banten, bagaimana Anda melihat arah pembangunan Banten di era otonomi daerah ini?
Banten memiliki potensi yang sangat besar. Dekatnya posisi Banten dengan Jakarta adalah potensi tersendiri bagi daerah ini. Keberadaan pelabuhan juga sangat strategis jika bisa dioptimalkan. Banten juga potensial dijadikan sebagai kawasan Industri.
Sekarang, tinggal bagaimana kita mengemas semua potensi itu. Harus ada visi yang jelas. Rencana jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Target pada setiap tahapan juga harus jelas. Pembangunan Banten tidak boleh parsial, sepotong-sepotong.
Menurut saya, setiap kabupaten dan kota harus digali potensinya dan tidak boleh ada kawasan yang terbengkalai. Sebab, satu kawasan dengan kawasan yang lainnya saling terhubung dan melengkapi.
Apa masalah utama yang terjadi di Banten?
Saya melihat, problem utama Banten adalah infrastruktur. Di Banten infrastruktur adalah oksigen. Tanpa infrastruktur yang memadai, pembangunan Banten akan ‘mati’. Bagaimana antara kawasan akan terhubung dan sinergis, jika infrastruktur tidak menunjang.
Selain itu, soal pelayanan publik juga penting. Di era otonomi, pelayanan publik sudah harus semakin efektif dan efisien. Kalau dulu pelayanan melalui banyak pintu. Di era otonomi sudah satu pintu bahkan satu meja atau online dengan layanan one stop services. [rm]
Selengkapnya...