H. Jazuli Juwaini, Lc. MA

.

Jumat, 16 Juli 2010

Pecat Parpol Koalisi Yang Beroposisi

Jakarta, RMOL. Setgab Dicap Bermain Dua Kaki

Sekretariat Gabungan (Setgab) Parpol Koalisi dinilai bermain dua kali. Satu sisi mendukung pemerintah pusat, tapi sisi lain membiarkan kadernya yang menjadi kepala daerah bersikap oposisi.

Seharusnya Setgab bersikap tegas dengan memecat parpol tersebut dari koalisi bila membiarkan kadernya yang menjadi gubernur, walikota, bupati, mengkritisi pemerintah pusat.

Soalnya ini aneh. Kalau anggota legislatif mengkritisi pemerintah pusat, itu wajar, tapi kepala daerah yang mengkritisi pemerintah pusat, itu kebangetan.

Begitu disampaikan Direktur Eksekutif Masayarakat Pemantau Kebijakan Eksekutif dan Legislatif (Majelis) Sugiyanto kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

“Setgab dicap bermain dua kali. Seharusnya pecat parpol koalisi yang beroposisi. Ketegasan itu diperlukan demi kompaknya parpol koalisi,’’ ujarnya.

Sugiyanto diminta pendapatnya terkait pernyataan Presiden SBY yang menilai partai koalisi tidak mempunyai etika politik, karena bersikap oposisi di tingkat daerah.

Tudingan ini terkait sikap kader partai koalisi menjadi guber¬nur, bupati, dan walikota yang tidak mendukung kebijakan pemerintah pusat.

Sugiyanto melanjutkan, tidak kompaknya partai koalisi di dae¬rah dalam mendukung kebijakan pemerintah pusat dan daerah, karena tidak ada ketentuan yang mengaturnya.

“Koalisi pemerintahan seka¬rang hanya sebatas pemerintah pusat saja dan tidak berlaku sampai ke daerah. Koalisi yang mereka laksanakan tidak diatur dalam konstitusi,” katanya.

Seharusnya, kata dia, ada Undang-undang yang mengatur soal koalisi parpol, sehingga koalisi bisa terbangun sampai tingkat daerah, sehingga pembangunan juga bisa berjalan dengan maksimal.

“Jika undang-undang itu sudah ada maka tidak ada alasan kepala daerah yang berseberangan dengan pemerintah,” jelasnya.

Sementara pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Iberamsjah mengakui, tidak ada yang aneh jika parpol koalisi yang beroposisi di daerah. Sebab, semuanya mempunyai kepentingan yang berbeda.

Menurutnya, selama kepentingannya dijamin dan menguntungkan maka partai koalisi akan loyal kepada pemerintah. Tapi begitu kepentingannya kurang terlayani maka partai koalisi akan menjadi liar.

Dikatakan, seharusnya di Indo¬nesia dibangun budaya politik yang santun, negarawan dan beretika. Jangan budaya politik yang hancur-hancuran seperti sekarang. Yang ujungnya hanya mencari keuntungan, bukan mengutamakan aspirasi konstituennya.

Sedangkan pengamat hukum tata negara, Refly Harun menilai, sikap partai koalisi yang menjadi oposisi di daerah merupakan salah satu kelemahan dari sistem presidensil yang diterapkan di Indonesia.

“Koalisi yang dibentuk bukan untuk membentuk pemerintah, namun untuk pencalonan dalam Pilpres dan bagi-bagi jabatan saja,” katanya.

Refly memaparkan, pola koalisi pusat dan daerah sangat beda, salah satu solusinya adalah melakukan penyederhanaan partai politik.

Menurutnya, seorang gubernur memang harus mempunyai sikap profesional, sehingga bisa membedakan mana yang menjadi urusan partai dan urusan pemerintah. “Pemerintah pusat juga tidak bisa berpikir jika gubernur adalah 100 persen anak buahnya, karena mereka dipilih rakyat,” katanya.


“Kalau Diseragamkan, Khawatir Pemerintahan Jadi Otoriter...’’
Jazuli Juwaini, Ketua DPP PKS

Ketua DPP PKS Jazuli Juwaini mengatakan, banyaknya partai koalisi yang menjadi oposisi di daerah, karena tidak ada Peraturan Pemerintah (Perppu) yang mengatur koalisi sampai tingkat daerah.

Menurutnya, jika pemerintah ingin lancar dalam menjalankan programnya, mereka harus membenahi sistem pemerintahan. Ini merupakan bagian dari konsekuensi otonomi daerah.

“Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah harus direvisi, agar tercipta sinergi antara pemerintah pusat dan daerah,” katanya.

Jazuli khawatir jika semua diseragamkan akan menciptakan diktator tunggal seperti masa lalu.

“PKS tidak menegor kadernya di daerah yang kritis terhadap pemerintah, selama kebijakan itu memang tidak berpihak kepada rakyat.

Sementara Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi menilai, faktor banyaknya partai koalisi yang menjadi oposisi, karena konfigurasi yang dibangun partai-partai politik hanya pada tingkat pusat saja.

“Ini kelemahan konfigurasi politik yang dibangun. Untuk itu PAN mengajukan ide konfederasi,” katanya.

Menurutnya, usulan konfederasi parpol, selain berlaku untuk tingkat nasional, juga berlaku sampai ke tingkat provinsi dan kabupaten kota. Tidak hanya pada saat Pilpres saja, tapi juga menyasar Pilkada.

“Presiden Hanya Beri Peringatan’’
Max Sopacua, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Max Sopacua mengakui ada kepala daerah dari partai koalisi yang melakukan oposisi terhadap pemerintahan.

“Ada kepala daerah yang berasal dari partai koalisi melakukan oposisi dengan pemerintah pusat. Tapi itu dulu, sekarang sudah tidak ada lagi,” kata Max, di Ge¬dung DPR, Jakarta, kemarin.

Menurutnya, kepala daerah yang beroposisi kebanyakan berasal dari partai oposisi. “Ada mungkin dari Kepala Daerah yang partainya beroposisi. Tapi saya tidak tahu partai mana,” ujarnya.

Namun ketika ditanya Kepala Daerah asal mana, Max tidak menjelaskan lebih jauh.

Dikatakan, kepala daerah yang beroposisi karena melihat Presiden SBY sebagai tokoh partai, bukan sebagai kepala pemerintahan yang harus diikuti.

“Untunglah sekarang para kepala daerah sudah melihat bahwa Presiden sebagai kepala pemerintahan, sehingga dalam dua tahun pemerintahan ini sudah tidak ada lagi kepala daerah yang beroposisi kepada pemerintahan pusat,” paparnya.

Selama ini, kata Max, Presiden SBY selalu memantau kepala daerah. Kemudian memberikan peringatan jika ada tanda-tanda kepala daerah melakukan oposisi.

“Tidak ada sanksi yang diberikan, Presiden beri peringatan saja agar pemerintahan harus berada dalam satu jalur dari pusat ke daerah. Makanya Partai Demokrat memberi instruksi kepada seluruh kader untuk mendukung kebijakan kepala daerah meski berasal dari partai yang oposisi. Jadi, tidak ada kavling-kavling parpol dalam pemerintahan,” tuturnya.

’’Inilah Buntut Dari Sistem Politik Pragmatis’’
Rully Chairul Azwar, Ketua DPP Golkar

Adanya kepala daerah yang berasal dari parpol koalisi menjadi oposisi suatu hal wajar karena sistem politik Indonesia yang tidak permanen.

“Inilah buntut dari sistem politik yang pragmatis, hanya lima tahunan. Berbeda dengan Malaysia yang lebih menekan¬kan ideologis,” kata Ketua DPP Partai Golkar, Rully Chairul Azwar, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Namun, kata Rully, setelah dibentuk Sekretariat Gabungan (Setgab) Parpol Koalisi diharapkan tidak ada lagi miss komunikasi. “Jika sudah dibahas di Setgab dan menjadi keputusan bersama, maka anggota koalisi wajib mendukungnya,” paparnya. [RM]

Media : http://www.rakyatmerdeka.co.id
Edisi : Sabtu, 10 Juli 2010


Comments :

0 komentar to “Pecat Parpol Koalisi Yang Beroposisi”