Media : http://www.lampungpost.com/
Edisi : Rabu, 17 Februari 2010
Rubrik : NASIONAL
JAKARTA (Lampost): Pemidanaan pelaku nikah siri ditanggapi pro-kontra.
Pada satu sisi nikah siri dianggap sebagai hak asasi manusia, sementara sejumlah
pihak beranggapan nikah siri justru menindas hak perempuan.
RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang memuat ketentuan
pidana bagi pelaku nikah siri ditentang. Pernikahan dipandang sebagai hak asasi
manusia, bukan urusan pemerintah.
"Itu kan hak asasi sesorang," ujar pakar hukum J.E. Sahetapy usai
peluncuran buku SETARA institute di Hotel Athlete Senayan, Jakarta, Selasa
(16-2).
Menurut dia, untuk soal seperti ini, agama yang harus melarang, bukan
pemerintah. "Kalau saya tidak sepakat. Itu kan hak seseorang," kata Sahetapy.
Karena urusan agama, kata dia, sanksinya pun bukan pidana berupa denda
atau penjara. "Itu harus agamanya yang mengatur, sanksinya harus dari agama."
Dalam draf RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
tahun 2010 itu memuat ketentuan pidana terkait perkawinan siri, perkawinan
mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat. RUU itu juga mengatur mengenai
perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinaan dan
menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal
sebetulnya tidak berhak.
Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan
hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta.
Sementara pemerintah membantah ingin ikut campur dalam masalah agama
dengan akan memidanakan pernikahan yang tidak memiliki dokumen resmi. Pernikahan
diatur agar kehidupan masyarakat tidak kacau.
RUU Perkawinan justru untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat akan
arti pernikahan. Ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi pria dan wanita.
"Ada hak dan kewajiban. Jadi jangan hanya, maaf ya, dalam tanda kutip
laki-laki jangan sekadar makai saja dong. Tanggung jawabnya di mana dong, lahir
batin dong," ujar Patrialis di sela kunjungan SBY ke LP Perempuan Tangerang,
kemarin.
Tertibkan Penyimpangan
Kemudian anggota legislatif memandang pernikahan tanpa disertai dokumen
resmi seperti nikah siri, kawin kontrak dan sebagainya sudah seharusnya
ditiadakan. RUU Nikah Siri dibuat untuk tertibkan penyimpangan perkawinan.
"Kita perlu minta masukan orang yang ahli, karena aturan ini juga dibuat
untuk menertibkan penyimpangan terjadi selama ini," ujar anggota Komisi VIII
Jazuli Juwaini kepada wartawan di DPR, Jakarta, kemarin.
Aturan mengenai nikah siri ini, menurut dia, bagian undang-undang agama
dan perkawinan di era Presiden Soeharto dulu. "Saya setuju dengan undang-undang
itu, aturan itu boleh dibuat agar tidak ada pihak yang dirugikan," kata dia.
2 Juta Nikah
Tingginya angka perceraian di Indonesia menjadi alasan akan diaturnya
pencatatan pernikahan secara resmi. Setiap tahun 200 ribu orang cerai.
"Dari 2 juta orang nikah setiap tahun se-Indonesia, orang cerai 200 ribu
per tahun se-Indonesia," ujar Dirjen Bimas Islam Kemennag Nasaruddin Umar,
kemarin.
Menurut Nasaruddin, RUU sudah dirancang sebelum tahun 2006. Kemennag juga
sudah berkonsultasi dengan para tokoh. "Ya itu kan baru draf, nanti disepakati,"
kata dia. n DTC/U-
Comments :
0 komentar to “Pidana Nikah Siri Jadi Polemik”
Posting Komentar