H. Jazuli Juwaini, Lc. MA

.

Selasa, 29 Maret 2011

"Birokrat Harus Melayani"

H Jazuli Juwaini punya perhatian besar terhadap tanah kelahirannya, Banten. Banyak gagasan dan pemikirannya tentang provinsi yang berpisah dari Jawa Barat ini. Ada beberapa strategi dan beberapa pokok pikirannya untuk membangun dan mengembangkan Banten ke depan. Berikut wawancara H Jazuli Juwaini dengan Jasmara Bahar dari Tangerang Ekspres.

Banyak para ahli ekonomi dan beragam pakar lainnya mengatakan bahwa Banten ini memiliki sumber ekonomi yang melimpah, tapi banyak juga yang mengatakan bahwa masyarakatnya masih banyak belum sejahtera. Apa gagasan atau pemikiran Pak Ustadz tentang Banten ke depan?

Banten memang daerah yang potensial. Selain banyak sumber daya alamnya, juga banyak sumber ekonomi tain yang bisa dimaksimalkan untuk kesejahteraan masyarakat. Ada beberapa pokok pikiran saya untuk Banten, sebut saja;
1. Mereformasi birokrasi untuk menrngkatkan pelayanan publik dan meningkatkan transparansi anggaran pemerintah,
2. Merangkul semua stakeholder pembangunan untuk bekerjasama membangun Banten,
3. Memperbaiki iklim investasi dengan memberikan kepastian hukum kepada investor,
4. Mendorong aparatur pemerintah yang bebas dari KKN,
5. Memaksimalkan peran kepemimpinan Gubernur untuk bekerjasama dengan seluruh Bupati dan Walikota se-Banten,
6. Mendorong setiap kebijakan pemerintah dalam rangka pemerataan ekonomi,
7. Mengoptimalkan sumber daya alam yang dimiliki Banten untuk dialokasikan sepenuhnya bagi kesejahteraan masyarakat,
8. Memperbaiki infrastruktur untuk meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat,
9. Melandasi pembangunan dengan penguatan aspek religiusitas masyarakat Banten, dan
10. Mengembangkan sektor pariwisata sebagai salah satu sektor penghasil pendapatan asli daerah.

Dalam pemikiran Anda tadi, reformat birokrasi menempati urutan nomor satu. Seperti apa Anda
melihatnya?


Hingga kini, pemerintah pusat dan daerah masih dan harus berpikir keras melakukan upaya percepatan reformasi birokrasi dengan kesadaran penuh bahwa ikhtiar tersebut merupakan upaya untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Menurutsaya ada beberapa langkah percepatan yang bisa dilakukan untuk mewujudkannya.

Pertama, budaya melayani, bukan dilayani. Warisan sejarah yang feodalistik baik semasa penjajahan Belanda maupun warisan rezim orde baru memang membentuk karakter birokrasi yang berorientasi ke atas atau meiayani atasan. Budaya ini harus dikikis dengan budaya baru birokrasi pelayanan. Di negara-negara maju para pegawai pemerintahan disebut sebagai civil servant atau pelayanan masyarakat. Sementara di kita, masih kuat persepsi pegawai sebagai abdi negara yang cenderung menyimpang dalam praktek sebagai abdi penguasa. Istilah pejabat publik semestinya juga harus direvisi dengan pelayanan masyarakat sebagaimana dalam Islam, khalifah sering disebut sebagai qodimatul ummah.

Kedua, proses rekrutmen, pendidikan, promosi, evaluasi, dan remunerasi yang professional berdasarkan meritokrasi (merit system) atau keahlian. Birokrasi bukan perusahaan keluarga yang sistem kerja, pengelolaan keuangan, rekrutmen pegawai, dan promosi jabatan bisa berdasarkan kedekatan dan afiliasi keluarga atau keturunan. Birokrasi adalah institusi pemerintah yang harus dijaga dan terjaga netralitasnya dari kepentingan parsial maupun kepentingan politik manapun. Kepentingan birokrasi hanyalah pelayanan optimal terhadap warga negara. Sehingga pelanggaran fatal jika proses birokrasi diintervensi oleh kepentingan politik pegawai atau pejabat publik, baik dalam proses rekrutmen, pendidikan, promosi, evaluasi, maupun remunerasi.

Ketiga, pengembangan sistem akuntabilitas. Prinsip good governance yang terpenting adalah akuntabiltas karena akuntabilitas dengan kandungan maknanya mencakup prinsip lainnya khususnya transparansi. Akuntabilitas birokrasi meliputi kinerja pelayanan, keuangan, dan administrasi. Malpraktek birokrasi sering terjadi karena sistem akuntabilitas yang tidak berjalan. Rumusnya sederhana, kewenangan tanpa akuntabilitas akan menghasiikan korupsi.

Keempat, untuk menegakkan prinsip akuntabilitas maka diperlukan satu sistem pengawasan. Melalui pengawasan, akuntabilitas efektif bisa ditegakkan. Dalam konteks ini pengawasan bisa dilakukan oleh beberapa pilar; pengawasan internal (inspektorat), pengawasan eksternal (penegak hukum, tembaga auditor, ombudsmen), dan pengawasan media massa dan opini publik. Birokrasi yang sehat harus memberikan keleluasaan kepada tiga pilar tersebut untuk turut serta secara aktif dalam menegakkan akuntabilitas birokrasi.

Kelima, keempat hal di atas harus ditopang oleh suatu sistem regulasi (perundang-undangan) komprehensif dan sinergis dari pusat hingga daerah yang mementingkan dimensi pelayanan publik. Sejumlah daerah kabupaten/kota telah melakukan terobosan dengan menyusun Peraturan Daerah (Perda) Pelayanan Publik.

Perda tersebut berisi standar pelayanan publik dan kontrak pelayanan antara pemda setempat dengan masyarakat. Terobosan semacam ini harus kita apresiasi dan harus dijadikan contoh bagi daerah-daerah lain. Kita juga telah memiliki UU tentang Pelayanan Publik (UU No 25 Tahun 2009). UU tersebut diharapkan dapat menjadi payung bagi pelaksanaan pelayanan publik, khususnya oleh birokrasi pemerintahan. Dengan sistem regulasi yang komprehensif dan sinergis diharapkan reformasi birokrasi memiliki pijakan yang kuat
Terakhir, mengingat warisan kultur feodal yang masih kuat, pelayanan publik yang masih lamban, praktek suap dan korupsi yang masih menggurita dalam birokrasi kita maka langkah-langkah shock therapy perlu digalakkan. Langkah ini, antara lain, tengah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menyingkap kasus-kasus korupsi birokrasi dan menjebloskan ke penjara para pejabat publik yang korup.


Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan kualitas birokrasi kita semakin meningkat hingga terwujud visi dan misi kita bersama yaitu good governance dan clean government.

Menurut pandangan Anda, seperti apa pentingnya pendidikan agama Islam terhadap kemajuan Negara ini?

Peran madrasah dalam mencerdaskan anak bangsa dan membangun negeri ini tak diragukan lagi. Namun, sampai saat ini madrasah masih berkutat dengan berbagai permasalahan seperti rendahnya kualitas lulusan, fasilitas yang minim, kualitas manajemen pengelolaan dan kualitas guru-guru yang masih rendah. Hal itu membutuhkan perhatian dan peranan dari pemerintah.

Lalu peran apa saja yang bisa dilakukan pemerintah untuk madrasah-madrasah yang harus kita akui seperti kian terpinggirkan?

Ada tiga peran yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional terhadap madrasah. Yang pertama Recognisi (pengakuan, kedua fasilitasi (bantuan), yang ketiga
regulasi (pengaturan). Untuk recognisi, dalam Pasal 17 Ayat 2 dan Pasal 18 Ayat 3 UU No.20/ 2003 tentang Sisdiknas, madrasah diakui statusnya sederajat dengan sekolah umum. Sedangkan untuk fasilitasi, pemerintah sudah mulai secara bertahap merea-lisasikan bantuan kepada madrasah. Yang masih sangat kurang adalah fungsi regulasi. Peraturan dan standar yang diterapkan di madrasah sarnpai saat ini mengacu kepada Kemendiknas. Padahal madrasah ada di bawah kewenangan Kementerian Agama. Seharusnya ada regulasi yang lebih tepat untuk madrasah. Karena madrasah memiliki ciri khas yang berbeda dengan sekolah umum. Tidak bisa secara utuh mengikuti peraturan yang dikeluarkan Kemendiknas. Untuk delapan standar nasional pendidikan dapat di-sesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan madrasah. Contohnya, standar sarana prasarana untuk madrasah bisa memasukkan fasilitas masjid. Kemudian untuk standar kelulusan, tidak bisa hanya mengacu kepada mata pelajaran yang di-UN-kan. Karena persentase pelajaran UN sangat sedikit dl madrasah dibandingkan dengan pelajaran agama. Wajar jika kemudian kualitas lulusan madrasah dianggap lebih rendah dari sekolah umum karena parameter yang digunakan adalah standar Kemendiknas yang kurikulumnya pelajaran umum.

Apa belum ada aturan yang jelas dan tegas yang mengatur madrasah?

Belum ada aturan yang detail tentang madrasah seperti syarat pendirian madrasah sebagai turunan dari UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Peraturan yang dipakai adalah KMA No 368 Tahun 1993 tentang MI, KMA No 369 Tahun 1993 tentang MTs dan KMA No 370 Tahun 1993 tentang MA. Ketiga KMA ini sebagai turunan dari UU No.2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas. Peraturan yang ada sampai saat ini yakni untuk penyelenggaraan pendidikan agama di madrasah baru ada Permenag No 2 Tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab, dan ini pun belum ada petunjuk pelaksanaannya secara operasional.

Lalu untuk di Banten, apa bisa kita memperbaiki berbagai hal di daerah ini dengan pendidikan?

Saya percaya dan yakin, Banten bisa diperbaiki dengan melakukan pendidikan karakter secara kontinyu dan konsisten.

Bisa dijelaskan lebih dalam apa yang ada dalam?

Dalam konteks tantangan di atas pendidikan karakter semakin penting dan semakin genting untuk kita implementasikan. Membangun karakter harus dilakukan secara komprehensif integral, tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal dan non informal. Dan tidak hanya menjadi tanggung jawab parsial dunia pendidikan. Tapi menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, keluarga dan sekolah.

Di level pemimpin pemerintahan apa yang seharusnya dilakukan selain membuat kebijakan-kebijakan yang pro pendidikan?

Para pemimpin di level pemerintahan dituntut memberikan tela-dan dalam pendidikan karakter ini. Para pemimpin harus menampilkan perilaku terbaik dengan rnemenuhi ajaran Rasulullah bahwa pemimpin yang terbaik adalah yang terbaik pe-layanannya terhadap masyarakat. Pemimpin seperti ini tentu akan disibukkan dengan permasalahan rakyatnya, bukan persoalan pribadi atau golongannya. Pemimpin seperti ini senantiasanya akan menampilkan kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Dan pada gilirannya kita saksikan rakyat akan memuliakan dan mengikuti karakter pemimpinnya.

Kalau peran masyarakat dan keluarga, harapan Anda seperti apa agar pendidikan karakter tersebut bisa temujud dan berbuah manis?


Masyarakat dan keluarga pun punya tanggung jawab terhadap intemalisasi pendidikan karakter ini. Budaya permisif dari masyarakat, acap kali membuat semua budaya dan inforrnasi dapat masuk dengan bebas. Tidak adanya filterisasi terhadap hal itu, membuat bangsa kita terutama generasi mudanya terjebak dalam krisis identitas. Gamang dalam mempertanankan jati diri bangsa. Pengawasan dan pe-ngontrolan masyarakat terhadap karakter yang tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia mutlak diperlukan. Keluarga sebagai institusi terkecil dari masyarakat berperan sangat besar dalam pembentukan karakter. Prilaku jujur, berbicara yang baik dan sopan, bertanggung jawab dan sebagainya, dapat diajarkan kepada anak sejak dini. Dalam hal ini orang tua sebagai teladan keluarga. Prilaku orangtua harus sejalan dengan pendidikan yang diberikan. Jangan satnpai anak belajar jujur sedangkan orang tuanya menyuruh anak berbohong untuk kepentingan orang tua.

Kalau Anda melihat, seperti apa pendidikan kita selama ini?


Pendidikan kita seiama ini sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, membebek, dan mengambil jalan pintas. Oleh karena itu, kita sangat mendukung kebijakan dari pemerintah yang memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum. Contoh programnya, sekolah membuat kantin kejujuran. Ini merupakan contoh yang baik dalam hal kejujuran, Namun, jangan sampai hal ini ternodai oleh ketidakjujuran sekolah dalam mcmbantu siswanya agar lulus UN. Agar siswa tidak tawuran, perlu dikembangkan kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga yang dapat melatih sportivitas dan menyalurkan potensi mereka. Budaya anarkis dan budaya korupsi tidak bisa hanya dilawan dan diselesaikan dengan tindakan afirmatif ataupun melalui proses hukum. Budaya anarkis dan budaya korupsi harus dilawan dan dicegah dengan pendidikan karakter. Hal ini membutuhkan kemauan dan usaha yang sungguh-sungguh. Pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek "knowledge, feeling, loving, dan acting".

Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan "latihan otot-otot akhlak" secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat. Dan ini membutuhkan kontinuitas dan konsistensi dari seluruh rakyat Indonesia. Korupsi dan anarkis hanya bisa dikalahkan oteh generasi yang memiliki idealisme dan karakter yang kuat.

Sekarang terkait dengan kesehatan dan perlindungan konsumen, seperti apa Anda melihatnya, termasuk soal label hala! di semua produk?

Jazuli: Jumlah muslim Indonesia yang terbesar di dunia merupakan pangsa pasaryang menjanjikan bagi produsen produk halal. Namun, ternyata di Indonesia belum ada peraturan atau undang-undang yang khusus mengatur tentang jaminan produk halal. Seiama ini pengaturan produk halal memang sudah ada di beberapa Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tapi kesemuanya belum memberikan kepastian dan jaminan hukum kepada umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal. Juga belum adanya penegakan hukum terhadap pelanggaran jaminan produk halal yang dapat menimbulkan efek jera.


Apa pemerintah tidak serius melindungi konsumen?

Masyarakat muslim membutuhkan jaminan kehalalan dari produk yang dikonsumsinya. Seharusnya, sertifikasi halal tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah dalam rangka melindungi warga negaranya. Pemerintah harus benar-benar serius untuk memberikan perlindungan bagi konsumen muslim, seharusnya sertifikasi halal menjadi kewajiban bagi produsen produk halal.
Langkah apa saja yang mestinya dilakukan pemerintah untuk melindungi konsumen, khususnya konsumen musiim, dari produsen-produsen yang tak bertanggung jawab?

Upaya pemerintah dan produsen untuk melindungi umat dari mengkonsumsi produk yang tidak halal dan untuk mendukung hak informasi konsumen agar menge-tahui kehalalan produk sudah berjalan dengan baik, yaitu melalui Sertifikasi Halal dari MUI dan dengan mencetak langsung tanda halal pada label produk. Namun, sertifikasi dan penandaan kehalalan baru menjangkau sebagian kecil produsen di Indonesia. Data dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan bahwa perrnohonan sertifikasi halal seiama 11 tahun terakhir tidak lebih dari 8.000 produk dari 870 produsen di Indonesia. Sampai dengan November 2010, dari 113.515 produk makanan tcregistrasi Badan POM, yang memiliki sertifikat halal MUI hanya 41,695 atau sekitar 36,73 persen.

Oleh karena itu, selain memberikan kesadaran kepada produsen dan konsumen mengenai pcntingnya sertifikasi halal, pemerintah harus membuat: regulasi yang benar-benar memberikan perlindungan kepada konsumen yaitu melalui Undang-undang Jaminan Produk Halal.

Lain kalau ada keberatan dari pihak produsen ksrena bctimbas dengan biaya dan lamanya waktu sertifikasi?

Pemerintah harus memfasilitasi sertifikasi halal itu agar rnurah, sederhana, tidak birokratis, cepat dan profesional. Untuk unit usaha mikro dan unit usaha kecil dibebaskan dari biaya sertifikasi sedangkan unit usaha menengah dan besar dikenakan biaya yang terjangkau. Intinya proses sertifikasi ini nonprofit. Benar-benar hanya sebagai bentuk perlindungan masyarakat. (**)


Media : Harian Tangerang Ekspress
Edisi : Senin, 28 Maret 2011
Rubrik: Tokoh dan Peristiwa, Hal : 12





Comments :

0 komentar to “"Birokrat Harus Melayani"”