H. Jazuli Juwaini, Lc. MA

.

Jumat, 19 Februari 2010

Sanksi Hukum Menanti Pelaku Nikah Siri

Media : http://www.hariansumutpos.com
Edisi : Wednesday, 17 February 2010, 07:38 AM


Tekad pemerintah menggolkan RUU tentang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan sudah bulat. UU yang mempidanakan pelaku nikah siri, kawin kontrak dan pernikahan tanpa dokumen resmi tidak terganggu penolakan sejumlah ulama dan ormas Islam.

”Kebijakan yang dibuat pemerintah ini merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap warga negara, khususnya kaum perempuan dan anak-anak yang selama ini jadi korban nikah siiri,” ujar Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nasaruddin Umar.
Dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg ini, nikah siiri dianggap sebagai perbuatan ilegal. Pelakunya bisa dipidanakan dengan sanksi penjara 3 bulan dan denda 5 juta rupiah.


Seperti dijelaskan Nasaruddin Umar, RUU itu akan memperketat pernikahan siiri, kawin kontrak, dan poligami. Pelaku tiga jenis pernikahan ilegal itu akan dipidanakan. Sanksi akan diberlakukan untuk pihak mengawinkan dan dikawinkan secara nikah siiri, poligami, dan kawin kontrak
Tingginya angka perceraian di Indonesia menjadi alasan akan diaturnya pencatatan pernikahan secara resmi. Setiap tahun 200 ribu orang cerai. “Dari 2 juta orang nikah setiap tahun se-Indonesia, orang cerai 200 ribu per tahun se-Indonesia,” ungkap Nasaruddin Umar.

Menurut Nasaruddin, RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan sudah dirancang sebelum tahun 2006. Kemenag juga sudah berkonsultasi dengan para tokoh.
Dalam RUU itu, lanjut Nasaruddin, bagi yang melakukan pernikahan tanpa pencatatan resmi, maka akan terancam denda minimal 6 bulan-3 tahun dan pidana maksimal Rp6 juta-12 juta. Namun denda dan pidana itu bisa saja bertambah tergantung kesepakatan DPR dengan Kemenag.

“Ya itu kan baru draf, nanti disepakati,” katanya. Hingga kini, RUU Perkawinan yang mengatur pencatatan pernikahan secara resmi sudah setahun berada di Sekretariat Negara (Setneg). Kementrian Agama (Kemenag) menganggap wajar RUU yang masih bertengger di Setneg.

“Itu (draf RUU setahun di Setneg) normal. Ada yang lima tahun,” kata Nasaruddin.
Menteri Agama Suryadhrama Ali mengatakan RUU Nikah Siiri baru draf awal dari Departemen Agama (Depag) berupa rancangan. Draf tersebut nanti akan dibahas di DPR sehingga akan muncul pandangan-pandangan, alasan-alasan, filosofis yuridis dari persoalan nikah siiri tersebut. “Saya tak tahu akan disetujui atau tidak. Kalau disetujui seperti apa nanti mungkin hukumannya administratif. Misalnya, yang sudah nikah siiri harus mengumumkan ke publik dan denda sekian, jadi belum definitif,” papar dia di sela-sela kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di LP Anak Tangerang.

Saat ini, DPR telah bersiap membahas RUU Perkawinan yang membahas pernikahan tanpa dokumen resmi tersebut. DPR pun akan mengumpulkan pakar dan ahli untuk membahas itu.
“Kita akan undang para pakar, ahli, antara lain tokoh masyarakat,” ujar Ketua Komisi VIII Abdul Kadir Kading. Kadir mengaku DPR hingga kini belum menerima draf RUU Perkawinan itu. Ia akan terlebih dulu mengecek prolegnas tahun ini.
Kadir belum bisa menilai lebih jauh tentang RUU Perkawinan itu. Namun menurutnya, nikah siiri maupun kawin kontrak itu dimungkinkan dalam hukum agama.

“Karena fakta di masyarakat kawin kontrak banyak terjadi. Tapi di Sukabumi ada suatu kampung di mana turisnya banyak datang untuk kawin kontrak. Itu yang jadi persoalan,” katanya.
Anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Jazuli Juwaini setuju peraturan tersebut diundangkan. “Saya setuju aturan boleh dibuat agar tidak ada pihak yang dirugikan, tapi nanti jangan ada kesan kriminalisasi orang yang melaksanakan syariat agama tertentu,” ujarnya di Gedung DPR.
Dia mengatakan, aturan itu bagian dari revisi Undang-Undang Agama, termasuk Undang-undang Perkawinan yang dibuat zaman Presiden Soeharto. “Nah sekarang sudah masuk prolegnas dan sedang dibahas,” ungkapnya.

Dalam pembahasannya, kata Jazuli, hal itu perlu penyesuaian seperti meminta masukan dari orang yang memang ahli. “UU itu sudah lama ada dan sudah selayaknya direvisi untuk menyesuaikan dengan perkembangan. Aturan itu dibuat untuk menertibkan beberapa penyimpangan yang ada selama ini,” paparnya.
Soal kriteria pidana, menurut Jazuli, harus dipertegas. Maksudnya jangan asal pidana, namun melihat situasi dan kondisi kenapa seseorang itu memilih nikah siiri.
Sedangkan Guru Besar Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Abdul Gani Abdullah menyatakan, aturan tentang pidana kurungan bagi orang yang menikah siiri harus dielaborasi. Sebab, di satu sisi, menikah itu adalah jalan yang benar, tetapi kenapa dihukum? Di sisi lain, penghukuman dilakukan bagi yang menikah siiri karena ada aturan negara yang dilanggar
Guru besar emeritus Universitas Airlangga JE Sahetapy berpendapat lain, Menurutnya, hukuman pidana yang ditetapkan pemerintah terhadap pelaku nikah siiri melanggar hak asasi manusia.

“Saya tidak setuju, nanti lama-lama orang bohong dipidanakan. Itu kan hak seseorang, kalau sudah suka sama suka tidak bisa dong,” katanya seusai menghadiri peluncuran buku Beragama, Berkeyakinan, dan Berkonstitusi, di Hotel Century, Jakarta.
Dia juga mengatakan, peraturan terhadap pranata perkawinan seharusnya diatur oleh institusi agama bukan pemerintah. “Kalau pemerintahnya larang, berarti agamanya itu sudah impoten, agamanya yang harus larang, bukan pemerintah yang larang,” ujarnya.

MUI: Perempuan Jangan Tertipu
Pernikahan di bawah tangan atau banyak dipahami orang sebagai nikah siiri menjadi wacana dalam pembahasan rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Pembahasan RUU ini terkait dengan Program Legislasi Nasional 2010 yang diinisiasi pemerintah. Dalam RUU disebutkan bahwa pelaku pernikahan siiri akan dikenai sanksi hukuman pidana.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengenal nikah siiri atau nikah kontrak, namun lebih menyebutnya sebagai pernikahan di bawah tangan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Menurut MUI, penikahan ini bisa menjadi haram apabila menimbulkan korban. Sedangkan Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) menyetujui adanya sanksi bagi pelaku pernikahan siiri, tetapi bentuknya hukuman perdata bukan pidana.
Terkait kepastian hukum tentang pernikahan siiri, faktanya ikatan pernikahan tanpa legalitas ini lebih banyak merugikan pihak istri dan anak. Banyak kasus yang membuktikan dampak buruk pernikahan siiri dan kontrak, seperti ketidakpastian hak, pengabaian, atau bahkan penelantaran.

EL, seorang pemerhati masalah perempuan, mengatakan perempuan cenderung disepelekan, dan lelaki bertindak semaunya terhadap perempuan yang dinikahinya tanpa catatan legalitas. Kekerasan fisik dan seksual kemudian menjadi dampak yang paling sering terjadi dari pernikahan siiri.
Motifnya bisa beragam. EL menjelaskan tiga faktor yang seringkali melandasi pernikahan siiri. Uang, daya tarik fisik, dan rayuan. Dan, tak hanya perempuan lugu yang kurang akses informasi yang menjadi korban.
Perempuan berpendidikan dengan pengetahuan cukup pun bisa terpedaya, terutama karena faktor uang, kemapanan yang akarnya kembali kepada keinginan untuk hidup nyaman dan mewah. Sementara alasan lelaki menikahi siiri pasangannya lebih banyak karena ketidakpuasan dari istri sahnya. Ketidakpuasan itu umumnya terkait dengan fisik istrinya dan juga seksual.

Dalam pernikahan siiri, baik perempuan (yang cenderung sebagai korban) maupun lelaki menyadari tindakan mereka dan sebagian tahu benar resikonya. Meski begitu, EL mengatakan, perempuan yang sadar resiko nikah siiri akhirnya tak tahan dengan kondisinya. Kemudian mereka melarikan diri dari situasi tersebut. Bagi korban perempuan lain yang tertipu oleh si lelaki (seringkali lelaki mengaku lajang sebelum mengajak nikah siiri), pengacuhan, penelantaran, dan kekerasan kemudian menjadi dampak negatif dari nikah siiri.

“Kebanyakan perempuan yang tertipu dengan pernikahan siiri akan kesulitan mencari pasangan yang menelantarkannya, karena tidak pernah ada informasi yang pasti tentang identitasnya. Korban yang sedang hamil dari pernikahan siiri juga mengalami kekerasan fisik. Dampak seperti ini terjadi setelah pernikahan dengan lama waktu yang tak tentu, dan korban semakin menemukan kejanggalan dalam hubungan mereka. Akhirnya perempuan ditinggalkan atau meninggalkan lelakinya karena sudah tak tahan dengan kondisinya,” papar EL kepada Kompas Female.

Istri dari pernikahan siiri cenderung lebih dijadikan pelampiasan sang suami dari problematika kehidupan kesehariannya. Kekerasan fisik paling sering didapatkan korban, di luar pemenuhan kebutuhan lain atas permintaan dari suami. Kondisi perempuan yang menikah siiri cenderung mengikuti keinginan pasangan lantaran motif awal pernikahan mereka, kata EL.

Perempuan dihadapkan dengan berbagai resiko dan kebanyakan menjadi korban pernikahan siiri. Pemahaman yang mendalam tentang hak perempuan, perubahan mindset tentang hidup dalam kemewahan, serta kultur yang menempatkan perempuan pada posisi subordinan seperti menuruti kata orang lain dan kebergantungan terhadap pasangan, menjadi sebagian akar masalahnya.

Tidak adil jika kemudian dampak negatif dari pernikahan siiri digeneralisasi terjadi kepada semua pelakunya. Namun kasus yang terjadi membuktikan bahwa perempuan cenderung mengalami ketidakadilan. Lebih lagi tak adanya ikatan hukum yang bisa menjadi alat untuk mengadukan dan menyelesaikan kasus di meja hijau.(net/bbs)







Comments :

0 komentar to “Sanksi Hukum Menanti Pelaku Nikah Siri”