9 April mendatang, seluruh rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih akan memberikan suaranya di tempat-tempat pemungutan suara. Dalam tinjauan pragmatisme politik, pemilu boleh jadi merupakan ajang kontestasi partai politik meraih simpati rakyat. Namun, dalam tinjauan politik perubahan, pemilihan umum sangat penting karena menentukan arah masa depan bangsa. Pilihan rakyat saat ini akan menentukan masa depan pemerintahan (kesejahteraan, pelayanan publik, dan kemajuan bangsa) lima tahun yang akan datang.
Namun sayang, realitas perpolitikan seringkali menampakkan kecenderungan negatif, yang bisa dilihat dari perilaku elit yang korup dan tidak profesional. Sehingga ada semacam apatisme di kalangan masyarakat jika berurusan dengan soal-soal politik dan pemilu. Tulisan ini ingin meluruskan pemaknaan politik sehingga rakyat tidak akan ragu memasuki bilik suara dan memilih wakil rakyat untuk perubahan yang lebih baik.
Anggota DPR sering disebut sebagai wakil rakyat, dan acapkali dinamai sebagai politisi ketimbang sebutan lainnya. Sayangnya istilah politisi - dan juga politik - cenderung berkonotasi negatif. Padahal politik adalah hal lumrah dalam kehidupan, bahkan kehidupan politik adalah keharusan bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Setiap orang pada dasarnya adalah insan politik. Politik dan politisi menjadi negatif karena yang muncul di permukaan lebih banyak praktek (langgam) politik yang pragmatis dan oportunis, bukan politik untuk perubahan ke arah kebaikan. Ibnu Khaldun (salah satu ilmuwan besar politik Islam) menegaskan: berpolitik adalah sarana menuju keteraturan dan sebuah cara menuju peradaban.
Politik dan politisi sesungguhnya bermakna netral. Orang di balik politik yang menjadikan politik itu baik atau buruk. Jika politisi berlaku profesional dan amanah, maka ia akan senantiasa menghadirkan perubahan ke arah perbaikan. Sebaliknya, jika politisi berlaku khianat dan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan, maka politik hanya akan menjadi bencana bagi masyarakat dan peradaban.
Ketika tahun 1998 kita menyuarakan reformasi dengan mengganti rezim dan menggulingkan otoritarianisme orde baru, seharusnya tahap berikutnya yang mesti dilakukan adalah menghadirkan rezim baru yang diisi oleh orang-orang yang sadar akan politik perubahan. Mereka menjelma menjadi politisi baik sebagai antitesa politisi busuk yang menghancurkan negara ini di masa lalu. Semakin banyak politisi baik yang terlibat dalam politik perubahan, semakin cepat cita-cita bangsa kita ke arah yang lebih baik tercapai – menjadi negara yang demokratis, adil, makmur, dan sejahtera.
Dalam konteks ini, kehadiran insan politik (politisi) sebagai anggota DPR/DPD/DPRD harus dimaknai sebagai upaya terlibat dalam politik perubahan. Menjadi anggota dewan hanyalah bermakna orang pertama diantara masyarakatnya. Sama sekali bukan menjadi yang paling utama, paling mulia, paling hebat, dibandingkan masyarakat kebanyakan. Dia akan menjadi utama dan mulia apabila dapat menampilkan politik kebaikan dan mampu menggerakkan perubahan ke arah yang lebih baik (reformasi).
Menjadi anggota dewan bukanlah tujuan, karena pragmatisme dan oportunisme muncul dari sana. Menjadi anggota dewan harus dijadikan kesempatan/peluang untuk menghadirkan perubahan, bukan peluang memanfaatkan kekuasaan dan jabatan. Dengan demikian kekuasaan dan jabatan bisa dipertanggungjawabkan (dengan amanah).
Islam mengajarkan kita agar politisi senantiasa menampilkan langgam politik shahihah (moralis). Sebaliknya melarang langgam politik fasidah (merusak). Politik shahihah adalah politik pencapaian kekuasaan yang bercirikan kesadaran para pelakunya bahwa posisi, kedudukan, dan jabatan adalah sarana untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulullah. Politik shahihah, dengan demikian, tidak semata-mata bertujuan kekuasaan, tetapi diorientasikan untuk mengajak seluruh komponen bangsa dalam kerangka persatuan dan kesatuan untuk menghadirkan perubahan serta menegakkan kebenaran dan kebaikan.
Sebaliknya, politik fasidah menunjukkan praktik politik-kekuasaan yang menyimpang dari kebenaran syari’ah. Politik jenis ini dengan sederhana dapat kita katakan bercirikan: kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan rakyat; menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan; dan mengembangkan pola hubungan politik yang menang-kalah (win-lose), artinya kemenangan sejati dalam politik terwujud jika kekalahan mutlak terjadi pada lawan politik. Ia sama sekali menanggalkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan keteraturan. Ia juga menafikan sendi-sendi kebersamaan sehingga memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Adalah tanggung jawab bersama untuk mengkampanyekan dan menampilkan politik shahihah dalam dinamika politik Indonesia saat ini. Kita harus belajar dari sejarah kelam perpolitikan masa lalu yang didominasi oleh langgam politik fasidah. Pun, ketika reformasi bergulir, salah satu komitmen yang kita bangun adalah membangun suatu pemerintahan yang bersih, anti-KKN, dan menghancurkan kultur dan praktik politik fasidah ala orde baru dengan semua antek-anteknya.
Semua pihak harus mengakhiri segala upaya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Politik hanyalah cara untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan keteraturan demi kemakmuran masyarakat dan menuju Indonesia yang lebih bermartabat. Kemakmuran dan martabat tidak mungkin dan tidak pernah bisa dibangun di atas penistaan moral dan etika. Oleh karena itu, mari kita berhenti bereksperimentasi politik yang hanya mengedepankan ambisi kekuasaan semata tanpa mempertimbangkan aspek moral dan etika. Politik yang bermoral hanya bisa ditegakkan jika setiap politisi memahami peran dan kedudukannya sebagai khalifah. Sebagai khalifah mereka mengemban amanah pemakmuran masyarakat, bangsa, dan negara.
Bagi rakyat pemilih, harus dipahamkan bahwa pemilu adalah manifestasi kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat secara langsung menentukan masa depan bangsa. Mari kita jadikan momentum Pemilu 2009 untuk menghasilkan wakil rakyat yang bersih, peduli, amanah, dan professional. Jangan gadaikan masa depan bangsa dengan memilih calon yang membeli suara rakyat dengan uang receh (money politics) dan sejenisnya.
Comments :
0 komentar to “PEMILU, WAKIL RAKYAT, DAN PERUBAHAN”
Posting Komentar